Mohon tunggu...
Syarif Ahmad
Syarif Ahmad Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Mbojo

#PoliticalScience- #AnakDesa Penggembala Sapi, Kerbau dan Kuda! #PeminumKahawa☕️ *TAKDIR TAK BISA DIPESAN SEPERTI SECANGKIR KOPI*

Selanjutnya

Tutup

Politik

Radikalisme sebagai Komoditi Perdagangan

21 November 2019   23:17 Diperbarui: 24 November 2019   22:51 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak ada yang baru dari isu radikalisme di Indonesia, semuanya bersifat daur-ulang dari isu-isu radikalisme sebelumnya. Mungkin satu-satunya yang terbarukan tentang isu radikalisme pada periode kedua Presiden Jokowi ini adalah menjadikan radikalisme sebagai komoditi unggulan negara dalam transaksi perdagangan dunia yang serba manipulatif.

Dari sinilah isu radikalisme menjadi menarik diamati dan dicermati, yaitu berkolaborasinya antara pemerintah dengan "bandar-bandar" kapitalisme yang menjadikan isu radikalisme sebagai komoditi unggulan. Kolaborasi ini tercermin secara vulgar melalui pernyataan Presiden Jokowi tentang bahaya radikalisme dan diikuti oleh para menteri kabinet dalam waktu yang hampir bersamaan, menarasikan tentang radikalisme sebagai sesuatu yang berbahaya.

Pernyataan bahaya radikalisme dari Presiden Jokowi dan diikuti oleh sejumlah Menteri kabinet periode 2019-2024, mengirim pesan yang jelas kepada para "bandar-bandar" politik global (kapitalisme), tentang keseriusan pemerintah dalam melakukan agenda deradikalisasi di Indonesia. Pada sisi konten pesan, tentang bahaya radikalisme, perlu dan penting untuk didukung sebagai sesuatu kebijakan demi keberlangusngan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Namun pada sisi lain, pesan dari isu radikalisme yang dikemas oleh pemerintah Jokowi tersebut, dengan mencermati sikap pemerintah yang cenderung, menuduh tanpa disertai dengan definisi radikalisme yang tidak jelas. Jika definisi radikalisme bersifat multi tafsir seperti saat ini, maka isu radikalisme yang digagas oleh pemerintah berpotensi pemberangusan yang salah sasaran, sebagai akibat dari ketidakjelasan tentang kategorisasi radikalisme oleh negara. 

Dan pada akhirnya, isu radikalisme yang diproduk  oleh pemerintah, justru kontradiktif dalam mengelola isu Radikalisme sebagai sesuatu yang membahayakan keberlangsungan bangsa dan negara. Hal ini tentu  mengundang keraguan dan kecurigaan serta rentetan pertanyaan-pertanyaan, yaitu ketika isu radikalisme secara sadar atau mulai diarahkan langsung dan tidak langsung pada sebagian umat agama Islam, dengan membuat kategori radikalisme yang tidak jelas, bersifat tendensius dan dipaksakan sebagai indikator radikalisme sebagai penggunaan simbol-simbol Islam.

Mencermati isu radikalisme yang diiklankan oleh pemerintah Presiden Jokowi pada periode kedua ini, lebih dominan sebagai diksi tuduhan, dari pada menguraikan secara benar dan dengan cara yang tepat tentang radikalisme. Namun kegaduhan yang diciptakan oleh pemerintah melalui bahaya radikalisme, telah menciptakan teror baru negara atas warga negara (umat Islam). Isu radikalisme telah menjadi iklan dari sebuah produk dan menjadi komoditi unggulan dari sebuah proyek besar dunia yang memaksakan semua negara tanpa terkecuali menerima liberalisme adengan salah satu fitur bawaannya adalah kapitalisme sebagai sistem tunggal dunia.

Maka tak berlebihan, munculnya sebagian orang dengan membuat kesimpulan, bahwa isu Radikalisme yang sedang menggejala saat ini, cenderung dijadikan sebagai produk atau komoditi unggulan pemerintah Indonesia yang dipasarkan pada pasar dunia. Mencuatnya tudingan seputar "memperdagangkan" isu radikalisme, pasca pengumuman susunan Kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Jokowi, sebagai strategi memperdagangkan radikalisme, bukanlah tuduhan tanpa dasar yang kuat. 

Isu radikalisme yang didesain oleh pemerintahan saat ini, menunjuk pada sebagian umat Islam sebagai radikal. Mencermati agenda yang mengikuti perspektif pemerintahan Jokowi tersebut, secara jelas menunjuk pada isu radikalisme yang diarahkan kepada kelompok Islam tertentu.  Karena pada ajaran Islamlah, satu-satunya ajaran yang mengatur secara lengkap semua aspek kehidupan manusia, yaitu mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (Hablu minallah) dan Manusia dengan Manusia (Habllu minannas),  termasuk tata cara berpakaian.

Mencermati isu radikalisme yang menjadi arah kebijakan dari kabinet pemerintahan Jokowi, melalui kementrian, seperti Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), serta sejumlah kementrian/lembaga terkait yang menandatangani Surat Pernyataan Bersama dengan Kemnko Polhukan, Kemendagri, Kemendag, Kemenkominfo, Kemendikbud, Kemenkumham, BIN, BNPT, BKN, dan KSN. 

Pada Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut, menunjukan kemana arah dan tujuan kebijakan pemerintahan Jokowi saat ini, yaitu isu radikalisme menyasar pada Agama Islam, dengan membuat indikator pakaian celana cingkrang dan cadar, aktivitas latihan Memanah dan Berkuda, dipaksa diseret-seret sebagai indikator terorisme.

Kebijakan pemerintahan Jokowi tersebut di atas, sepertinya tak suka, ketika ada warga negara yang menjalankan apa yang menjadi syariat Islam, dengan membuat kategorisasi radikalisme yang penuh bias dan tidak jelas. Misalnya, pada Kementrian Agama yang mempersoalkan cadar dan celana cingrang dan tidak ketinggalan Polisi pun mulai mempersoalkan latihan berkuda dan panah. Cara pemerintah mendesain isu radikalisme, secara subtansi menunjukan ketidaksukaan pemerintah Jokowi terhadap Islam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun