Mohon tunggu...
Pujia Khoirunisa
Pujia Khoirunisa Mohon Tunggu... Penulis - Newbie Blogger - Law Student ⚖

hiduplah seperti Larry!1!1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lari dari Toxic Positivity: Tak Apa Untuk Tak Baik-Baik Saja!

26 September 2021   13:33 Diperbarui: 21 Oktober 2021   11:47 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para peneliti menemukan banyak manfaat dari berpikir positif misalnya ialah melepas stres dan meningkatkan kesejahteraan. Dalam menghadapi setiap tantangan hidup, berpikir positif menjadi sesuatu yang penting tetapi berpikir positif tidak selalu menjadi satu-satunya solusi.

Terlepas dari tantangan yang dihadapi, ketika seseorang percaya bahwa yang dapat dilakukannya ialah hanya harus berpikir positif sehingga memaksakan dirinya untuk terus positif maka potensi terbungkamnya emosi dan halangan untuk mencari dukungan sosial menjadi lebih besar.

Demikian pula, ketika seseorang dituntut untuk selalu berpikir positif bahkan dalam masalah yang serius cenderung akan membuat seseorang tersebut merasa distigmatisasi dan dihakimi. Hal inilah yang membuat seseorang pada akhirnya menghindari penderitaan and pretend that everything’s OK when isn’t.

Kondisi seperti ini disebut toxic positivity, dimana seseorang menuntut dirinya atau orang lain untuk selalu bersikap positif. Secara lebih jelas, toxic positivity adalah keyakinan bahwa tidak peduli seberapa parah atau sulitnya situasi, seseorang harus mempertahankan pola pikir positif.

Toxic positivity cenderung menolak emosi negatif demi kebahagiaan yang sering kali palsu. Sehingga, merasakan dan mengatasi emosi negatif secara terbuka dan jujur jauh lebih baik dibanding menghindari, menolak dan membungkamnya.

Emosi negatif yang kerap tidak menyenangkan merupakan bagian penting dari kesejahteraan. Kecemasan misalnya, dapat mengingatkan seseorang akan situasi berbahaya. Sementara, penderitaan adalah sebuah proses pendewasaan diri.

As you know, hidup tidak selalu berjalan baik, seringkali kita dihadapkan pada emosi dan pengalaman yang menyakitkan. Saat menghadapi situasi sulit alih-alih melupakan dan bertingkah seperti tidak sedang terjadi apa-apa, merasa gugup, cemas dan menangis adalah sesuatu yang normal.

Sebagaimana yang terdapat dalam lagu milik Fiersa Besari berjudul Pelukku Untuk Pelikmu yang secara explisit menyatakan bahwa it’s really okay to not be okay. Penggalan liriknya adalah “Kadang kala tak mengapa bila tak baik-baik saja, kita hanyalah manusia wajar bila tak sempurna”.

Tanda-Tanda Toxic Positivity

Toxic positivity kerap kali tidak kentara, maka dari itu perlu untuk mengenali tanda-tanda yang membantu mengidentifikasi perilaku toxic positivity dengan lebih baik. Beberapa tanda-tanda dari toxic positivity antara lain:

  • Menyingkirkan masalah daripada menghadapinya
  • Merasa bersalah karena merasakan apa yang dirasakan
  • Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya dibalik perasaan senang yang tampaknya lebih dapat diterima secara sosial
  • Meminimalisir perasaan orang lain yang tidak membuat nyaman
  • Mempermalukan orang lain ketika mereka tidak bersikap positif
  • Melupakan emosi yang menyakitkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun