Pagi ini tak ada rencana dan tak ada niat special sejak semalam. Ibunya anak-anak sedang di luar kota. Saat terbangun, hanya ada sedikit nasi dingin di magic jar, sisa sop kambing dari kemarin sore, dan udara pagi yang menggigilkan tulang. Tapi seperti banyak kisah baik dalam hidup, keistimewaan kadang lahir dari keadaan paling biasa. Maka terciptalah menu baru: BURKA -- Bubur Kambing.
Dari Dapur Darurat, Lahirlah Kenikmatan yang Menghangatkan
Semua bermula ketika pagi datang membawa perut yang belum diisi dan malas yang belum pergi. Melirik nasi yang mulai kering dan sop kambing yang masih tersisa dalam panci, tiba-tiba muncul ide yang aneh tapi menggoda: bagaimana kalau disatukan saja? Tambah sedikit air, nyalakan api kecil, dan biarkan waktu yang bekerja.
Aroma kapulaga, kayu manis, dan cengkih kembali hidup. Daging kambing yang semula mengeras, mulai melunak lagi oleh panas. Nasi mulai menyerah, berubah menjadi bubur. Kuah sisa sop pun mengental, menyatu dengan serpihan nasi dan potongan daging. Tak perlu bumbu tambahan --- karena semua rasa telah meresap sejak kemarin.
Inilah keajaiban kuliner: ketika yang tersisa berubah menjadi istimewa. Ketika nasi dingin dan kuah sisa tak lagi bernasib sebagai makanan terakhir, tapi naik derajat menjadi hidangan utama yang menghangatkan hati.
BURKA: Bubur Kambing dengan Banyak Makna
Nama "BURKA" sendiri muncul spontan --- singkatan dari Bubur Kambing. Tapi seperti halnya burka yang menutupi namun menyimpan kecantikan, bubur ini pun tampil sederhana, tapi menyimpan ledakan rasa. Di balik penampilannya yang biasa, tersimpan kekuatan: kaldu pekat, rasa rempah, dan tekstur daging yang tak ingin cepat ditelan.
BURKA mengajarkan satu hal: bahwa tak semua kelezatan harus direncanakan. Kadang, makanan terbaik justru lahir dari keterbatasan. Ia bukan hasil resep mewah, bukan pula masakan dengan bahan segar. Tapi ia jujur --- berasal dari rumah, dari tangan yang mencoba menghargai apa yang ada.
Kuliner, Cinta, dan Kesadaran Hidup
BURKA lebih dari sekadar makanan. Ia bisa jadi simbol cara pandang terhadap hidup: bahwa yang dianggap 'sisa' belum tentu tak berguna. Bahwa dalam hidup, sering kali kita tergesa membuang sesuatu hanya karena tak lagi segar, tak lagi baru. Padahal, dengan sedikit waktu dan perhatian, banyak hal bisa kembali bernilai.