Tahun ini, China diperkirakan akan menjadi kekuatan ekonomi nomer dua di dunia, menggeser Jepang. Pertumbuhan ekonomi China, yang lazim diukur dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) memang menakjubkan. Rata-rata selalu dalam kisaran 10-an % per tahunnya. Maka tak heran bila sekitar sepuluh tahun lalu China masih menduduki posisi ke tujuh, tahun 2007 sudah menyalip Jerman menduduki posisi ketiga terbesar di dunia. [caption id="attachment_230789" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi : www.wsj.com"][/caption]
Bukan tak mungkin beberapa tahun mendatang menjadi nomer satu, menggeser Amerika Serikat (AS) meski saat ini ukuran ekonomi China masih terpaut cukup jauh, sekitar 10 triliun US Dollar dari AS. Ini bisa terwujud tentunya bila China mampu mempertahankan level pertumbuhan ekonominya seperti saat ini, dengan kualitas yang lebih baik tentunya.
Bukan sesuatu yang mustahil memang, meski tak mudah. Ekonomi China selama ini ditopang oleh kekuatan konsumsi domestik yang kuat dengan semilyar jumlah penduduknya, sehingga hanya sedikit turun kinerjanya ketika krisis global menghantam tahun 2008 lalu. Juga kinerja ekspornya yang perkasa.
Meski demikian, kini muncul berbagai persoalan domestik di China yang bisa mengerem laju ekonominya ke depan. Semakin banyak buruh yang menuntut upah yang lebih tinggi dan banyak pabrik yang bersiap hengkang dari China, termasuk beberapa konon akan pindah ke Indonesia. Bahkan beberapa karyawan perbankannya mulai berunjuk rasa karena ancaman PHK demi efisiensi industri perbankan di China.
Sementara itu, kurs mata uangnya, Renminbi, terus mendapat tekanan untuk tidak ditahan di level yang terlalu murah yang selama ini menjadi senjata pamungkas kekuatan ekspor China. Yang terakhir ini tentunya datang dari negara-negara mitra dagangnya, yang seperti biasa dimotori AS. AS memang selalu keok (defisit) dalam urusan dagang ini. AS selalu lebih banyak membeli daripada menjual barang ke China. Sampai Juni 2010 ini misalnya, defisit perdagangan AS ke China adalah sebesar 26,2 milyar US Dollar (Kathy Chen, the Wall Street Journal, 11 Agustus 2010). Fakta ini yang selalu membuat gusar para wakil rakyat di AS, meski mereka juga tahu tidak cukup berdaya mengubahnya.
Prestasi perekonomian China jelas sangat menakjubkan. Namun seperti biasa, pejabat China merendah dengan menyatakan bahwa China belumlah setara dengan negara-negara maju seperti AS dan Jepang. Ekonomi China memang maju pesat, namun belum merata dirasakan oleh seluruh masyarakatnya. Ini jelas jurus ala pendekar kungfu yang menyembunyikan dahsyatnya kekuatan pukulan dan tendangannya. Biasanya, serangan pendekar selalu diam-diam meski mematikan.
Jurus diam-diam tadi antara lain terlihat dari ‘gerakan’nya di bidang ekonomi dunia. Secara perlahan namun pasti, China mulai sibuk menguasai banyak perusahaan-perusahaan besar dan strategis di berbagai negara. Dengan dana siap pakai berupa cadangan devisanya yang mencapai sekitar 2,4 triliun US Dollar, tentu bukan persoalan yang sulit. Melalui salah satu instansi negaranya, China Investment Corporation (CIC) yang didirikan 29 September 2007 lalu, China semakin agresif berburu investasi di berbagai negara. CIC sendiri konon mengelola sekitar 200 milyar US Dollar dari jumlah cadangan devisa milik China tadi. Dengan dana kelolaan sebesar itu, CIC ibarat bayi raksasa yang hadir di pasar keuangan internasional.
Sudah dalam beberapa tahun terakhir ini sebenarnya China berburu berbagai perusahaan di seluruh penjuru dunia. Banyak perusahaan di AS dari yang kecil sampai yang raksasa di beli China. Kini giliran beberapa negara di Asia menjadi incaran investasi dana pemerintah China. Konon dana senilai puluhan triliun rupiah sudah pula disiapkan untuk masuk ke Indonesia.
Tidak hanya perusahaan swasta yang diincar China. Kini surat utang negara beberapa negara berkembang juga menjadi incaran China. Hari ini misalnya, diberitakan China akan menggandakan pembelian surat utang pemerintah Korea Selatan (Korean Treasury Bonds). China diperkirakan akan membeli SUN-nya Korea ini sekitar 4 Triliun Won tahun ini. Bisa jadi, sebagian duit China ini masuk pula ke surat utang Indonesia (SUN) dan membantu turunnya imbal hasil (yield) SUN dewasa ini dan menguatnya kurs Rupiah. Yield SUNrata-rata sudah turun sekitar 1.5% sejak awal tahun yang berarti ongkos pemerintah Indonesia semakin murah.
China memang sedang gencar melakukan diversifikasi investasinya, selain dalam bentuk emas juga ke surat utang negara beberapa negara berkembang. Selama ini memang aset China lebih banyak tertanam di surat utang pemerintah AS (US Treasury Bonds). Sekitar 20% utang pemerintah AS dibeli China, senilai 840-an milyar US Dollar. Dengan angka sebesar itu, China memang kreditor terbesar bagi pemerintah AS, disusul Jepang.
Dominasi China dalam perekonomian AS ini juga membuat gusar dan cemas para wakil rakyat di AS. Dalam beberapa kali rapat dengar pendapat (hearing), kecemasan anggota dewan ini dikemukakan secara tegas. Bahkan akhirnya, Konggres AS memutuskan agar US Treasury melaporkan secara regular kepemilikan negara asing atas surat utang pemerintah AS dalam voting tanggal 9 Juni 2010 lalu (the Wall Street Journal, 10 Juni 2010). Kecemasan yang jelas masuk akal dari para politisi dimana saja, karena begitu suatu negara asing mendominasi ekonomi negara maka secara tidak langsung bisa mengendalikan kebijakan negara tersebut. Ini hanya soal waktu saja rasanya. Bila negara AS adalah perusahaan, maka sebenarnya kepemilikan sahamnya sudah dikuasai China, dan Jepang.
Fakta tadi menggambarkan dinamika pergeseran kekuatan dunia di periode mendatang. Secara perlahan namun pasti, China sudah merambah ke kehidupan seluruh masyarakat dunia. Bahkan di negara-negara adidaya. Meski demikian, hal ini sekaligus merupakan kelemahan China karena menjadi sangat tergantung pula kepada kemajuan ekonomi negara-negara tersebut. Tak heran China harus terus menahan diri. Dalam konteks hubungan dagangnya dengan AS misalnya, Qin Gang, juru bicara Kementrian Luar Negeri China, dalam kesempatan briefing regular dengan media massa di Beijing menyatakan bahwa hubungan masalah keuangannya dengan AS adalah ibarat ‘simbiose mutualisme’ sehingga tak seharusnya dicurigai dan dipolitisisasi berlebihan.
China memang bukan tanpa ‘kelemahan’ dan masih banyak masalah domestik yang bisa jadi harus dibenahi. Negara ini sudah secara perlahan semakin terbuka, tak lagi tertutup rapat ala jaman kejayaan Forbidden City dahulu. Dibandingkan negara maju yang jaminan sosial penduduknya sudah sedemikian matang, kondisi di China bisa jadi masih kalah. Ini tentunya bisa menjadi sasaran serangan dari negara-negara maju, khususnya menyangkut aspek demokrasi. [caption id="attachment_230790" align="aligncenter" width="150" caption="Forbidden City (Priyanto B. Nugroho)"][/caption]
Nah, beberapa negara lain sudah terlihat lebih mantap mendudukkan posisi dan strategi ekonominya menghadapi dinamika tadi. Mudah-mudahan Indonesia, yang terlihat masih sibuk mencari bentuk yang paling pas bagaimana menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara di usianya yang sudah 65 tahun dan lebih dari 10 tahun terakhir mereformasi diri, tak lupa untuk memantapkan posisinya. Berdiri tegak dan mandiri, tak perlu selalu berpaling kanan-kiri untuk bersikap.
(www.usgovermentspending.com, US Treasury website, the Wall Street Journal, Bloomberg, Reuters, CNBC)
Tulisan terkait:
Koh, Beli Terus Dong … Please
Misteri Angka ‘Semibilan’ dan Menguatnya Dominasi China
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H