Mohon tunggu...
Prisca Aulia Fitri
Prisca Aulia Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Solusi Bijak dalam Melawan Kekerasan Seksual

5 Agustus 2022   21:27 Diperbarui: 5 Agustus 2022   21:33 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pilihan yang dapat dikatakan bijak untuk menangani kasus kekerasan seksual dan dapat membuat jera pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang memiliki lebih dari satu korban yaitu adalah pidana penjara seumur hidup, ditengah adanya berbagai kontroversi terkait hukuman kebiri kimia dan hukuman mati. 

Kasus dugaan kekerasan dan pelecehan seksual marak terjadi di berbagai tempat yang ternyata selama ini dianggap aman, seperti sekolah, perguruan tinggi, hingga pesantren. Dan terungkapnya beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan berbasis agama turut mewarnai peringatan Hari HAM Internasional 2021. Salah satu kasus kekerasan seksual yang cukup menjadi perhatian masyarakat adalah kasus yang melibatkan Herry Wirawan (36), pimpinan sekaligus guru agama, yang melakukan tindak kekerasan sesksual dengan memerkosa belasan santriwati yang berusia 13-16 tahun, bahkan beberapa korbannya sampai hamil dan melahirkan 9 bayi pada tahun 2016-2021. 

Dengan arahan dari Presiden Jokowi yang disampaikan melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yaitu agar kasus pemerkosaan 12 santriwati oleh Herry Wirawan di Bandung ditindak dengan tegas, dan diminta untuk memperhatikan kondisi korban, hal tersebut membuktikan bahwa negara berupaya serius untuk hadir memberi perhatian khusus terhadap penanganan kasus kekerasan seksual yang semakin marak terjadi.

Sebagian besar masyarakat semakin mendesak agar pelaku kekerasan seksual terhadap anak dikenakan tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dengan tidak hanya dipidana semaksimal mungkin dan diumumkan identitasnya. Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah kebiri kimia cukup efektif untuk memberikan efek jera, dan sebenarnya bagaimana strategi yang tepat untuk menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak?

Meski korbannya lebih dari satu orang, ternyata jaksa penuntut umum tidak mendakwa Herry Wirawan dengan Pasal 81 Ayat (5) UU Perlindungan Anak, yang ketentuannya memungkinkan terdakwa dijatuhi pidana mati, seumur hidup, dan tindakan berupa kebiri kimia, serta pemasangan alat pendeteksi elektronik, untuk mengetahui keberadaan pelaku, setelah menjalani pidana penjara, misalnya 20 tahun, padahal perkara tersebut membuat public cukup geram.

Meskipun hukum acara pidana khusus yang berlaku mengharuskan pemeriksaan sidang ini berlangsung secara tertutup, tetap saja sekali-kali tidak boleh menghilangkan peran serta masyarakat untuk tetap mengawal kasus ini. Sebab, hakim harus senantiasa menggali rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dengan harapan jaksa penuntut umum dan majelis hakim melakukan langkah progresif, dan memastikan pelaku akan mendapat hukuman yang setimpal.

Terlepas dari pro dan kontra penghapusan hukuman mati, dan adanya model pidana mati dengan "masa percobaan" selama 10 tahun dalam Rancangan KUHP, publik juga menanti-nantikan apakah jaksa penuntut umum akan mengajukan tuntutan di luar dakwaan dengan menggunakan Pasal 81 Ayat (5) UU Perlindungan Anak, yang memungkinkan dikenakannya tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik?

Namun disisi lain, menurut pandangan seorang mantan petinggi kejaksaan, eksekusi dari tindakan kebiri kimia cukup rumit, yaitu setelah melewati serangkaian prosedur, jaksa memerintahkan dokter untuk melakukan pelaksanaan kebiri kimia kepada pelaku. Sementara itu, masih ada perdebatan di ranah medis sehingga dokter dinilai belum siap.

Untuk itu, mungkin pilihan yang bijak dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang dapat membuat jera pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang korbannya lebih dari satu orang adalah pidana penjara seumur hidup, pidana tersebut harus dijalani sampai yang bersangkutan meninggal. Pilihan ini diperkirakan dapat mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana, sekaligus menjadi Poena proxima morti, dan dianggap paling dekat dengan pidana mati yang dimana sudah banyak dihapuskan di negara-negara lain. 

Hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah bagaimana nasib para korban dari kejahatan seksual serta pemulihan kondisi fisik dan psikisnya, dengan harapan besar nantinya korban-korban yang sudah pulih tidak akan menjadi seperti pelaku, dan bahkan dapat menjadi agen perubahan di masa depan.

Atas dasar itulah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sangat penting untuk segera disahkan menjadi UU karena RUU ini tidak hanya melindungi korban kekerasan langsung, tetapi juga memberikan pendampingan bagi keluarga korban dan saksi yang ingin memberikan kesaksian mereka selama proses hukum berlangsung. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun