Apalagi bila dikaji kehidupan Agama Islam di waktu itu, ternyata bahwa dunia telah terbuka pintunya bagi Kaum Muslimin, harta kekayaan melimpah ruah, pangkat dan kedudukan bertambah-tambah. Daya tarik harta dan kedudukan itu telah merangsang dan mempesona hati orang-orang beriman, menyebabkan bangkitnya sebagian shahabat Rasulullah — di antaranya Ibnu Umar — mengibarkan bendera perlawanan terhadap rangsangan dan godaan itu. Caranya ialah dengan menyediakan diri mereka sebagai contoh teladan dalam yuhud dan keshalihan, menjauhi kedudukan-kedudukan tinggi, mengatasi fitnah dan godaannya ….
Boleh dikata bahwa Ibnu Umar adalah “Penyerta malam” yang biasa diisinya dengan melakukan shalat …. atau “kawan dinihari” yang dipakainya untuk menangis dan memohon diampuni. Di waktu remajanya ia pernah bermimpi yang oleh Rasulullah dita’birkan bahwa qiyamul lail itu nantinya akan menjadi campuran tumpuan cita Ibnu Umar, tempat tersangkut‑ nya kesenangan dan kebahagiaannya. Nah, marilah kita dengar ceritera tentang mimpinya itu:
“Di masa Rasulullah saw. saya bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang saya ingini di surga, maka beludru itu akan menerbangkanku ke sana…
Lalu tampak pula dua orang yang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Tetapi seorang Malaikat menghadang mereka, katanya: Jangan ganggu! Maka kedua orang itu pun meluangkan jalan bagiku ….
Oleh Hafshah, yaitu saudaraku, mimpi itu diceriterakannya kepada Rasulullah saw. Maka sabda Rasulullah saw.:
“Akan menjadi laki-laki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering shalat malam dan banyak melakukannya! “
Maka semenjak itu sampai ia pulang dipanggil Allah, Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan qiyamul lail baik di waktu ia mukim atau musafir. Yang dilakukannya ialah shalat, membaca al-Quran dan banyak berdzikir menyebut nama Allah . . . , dan yang sangat menyerupai ayahnya ialah airmatanya bercucuran bila mendengar ayat-ayat peringatan dari al-Quran .
Berkata ‘Ubeid bin ‘Umeir: “Pada suatu hari saya bacakan ayat berikut ini kepada Abdullah bin Umar:
Betapakah bila Kami hadapkan dari setiap ummat seorang saksi, dan Kami hadapkan pula kamu sebagai saksi atas mereka semua . . . ? Padahari itu orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan tiada pula suatu pembicaraan pun yang dapat mereka sembunyikan dari Allah … ! “
(Q.S. 4 an-Nisa: 41 — 42)
Maka Ibnu Umar pun menangis, hingga janggutnya basah oleh airmata. Pada suatu hari ketika ia duduk di antara kawan-kawannya, lalu membaca: