Saat menulis artikel "Menjadi Imam Salat itu Berat", aku langsung berpikir memasang gambar ilustrasi yang cukup kontroversial sekaligus aktual: foto HRS menjadi imam salat di mushola Polda Metro Jaya.
Aku memang sengaja memilih foto ilustrasi tersebut. Melalui foto itu, aku hendak sedikit bereksperimen, ingin tahu bagaimana reaksi pembaca Kompasiana, khususnya netizen pengikut akun media sosial Kompasiana.
Ternyata dugaanku tidak meleset. Artikelku itu mendapat tanggapan dan komentar yang cukup banyak di halaman Facebook Kompasiana. Namun yang mengklik dan membaca artikelku tidak sebanyak yang berkomentar. Dan sesuai dugaanku pula, hampir seratus persen komentar terhadap artikel tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan isi artikel.
Baca dan perhatikan komentar-komentar netizen di postingan Kompasiana tersebut. Kemudian bandingkan dengan isi artikelku. Artikelnya tentang apa, komentarnya mengarah kemana, sama sekali tidak nyambung.
Artikelku itu isinya menerangkan hak dan kewajiban imam salat. Tapi hampir semua netizen Indonesia yang berkomentar menghubungkannya dengan kasus yang tengah menimpa HRS.
Tak salah apabila negara-negara maju menganggap tingkat literasi negara kita sangat rendah. Bisa membaca dan mengenal huruf, memang iya. Tapi memaknai bacaan itu dengan semestinya, dan meletakkannya pada tempat yang sesuai, ini yang nyaris tidak pernah dilakukan pengguna internet di Indonesia.
Kebanyakan mereka langsung menyambar judul berita lalu mengomentarinya. Kebanyakan mereka hanya melihat gambar tanpa mau membaca isi artikelnya. Kebanyakan mereka keburu berprasangka tanpa mau menelaah kebenarannya.
Ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat bagi pemangku kebijakan negeri ini, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan. Bagaimana kita bisa menjadi negara maju, sementara tingkat literasi kita nyaris jatuh ke dasar jurang.
Kita lebih suka mengejar berita daripada mengejar ilmu. Padahal, untuk membaca berita dengan baik, memilahnya di antara jutaan informasi yang menyesatkan, kita membutuhkan ilmu.