Terlepas dari berbagai kritik atau pujian berlebih yang dialamatkan pada dua pidato Jokowi tersebut, secara ilmu pengetahuan konsep pidato itu sudah mengikuti alur yang dianjurkan Marshal Mcluhan. Alih-alih menggunakan istilah-istilah ilmiah yang kemungkinan besar terdengar membosankan, apalagi bagi generasi milenial, pidato presiden Jokowi menggunakan metafora tokoh-tokoh fiksi populer.
Pidato Jokowi memilih Thanos untuk menggambarkan persoalan riil yang sedang melanda Indonesia seperti melemahnya rupiah, naiknya harga kebutuhan pokok, merosotnya daya beli dan lain sebagainya.
Pidato Jokowi menggunakan metafora Evil Winter untuk menggambarkan neoliberalisme yang sudah mencengkram bangsa ini. Hampir tidak ada istilah-istilah ilmiah yang baku yang digunakan untuk menggambarkan persoalan atau wacana yang hendak disampaikan.
Inilah yang semestinya bisa ditiru oleh kalangan akademisi. Dalam sebuah sesi bimbingan teknis penulisan ilmiah, saya menyoroti persoalan mengapa banyak yang tidak suka membaca jurnal-jurnal ilmu pengetahuan, yang salah satu sebabnya adalah penggunaan gaya bahasa ilmiah yang terlalu baku. Apakah kita tidak bisa membuat karya tulis ilmiah dengan bahasa populer?
Mengapa tidak bisa? Selama kaidah penulisan ilmiahnya terpenuhi, gaya bahasa apapun yang dipakai boleh saja. Atau bila bahasa ilmiah baku itu menjadi syarat mutlak yang diwajibkan, maka luangkan waktu sejenak untuk mengalihbahasakan karya tulis bermuatan ilmu pengetahuan itu kedalam budaya populer.
Saya terus terang iri dengan banyaknya situs-situs luar negeri yang mengalihbahasakan jurnal-jurnal ilmiah ke dalam bahasa yang lebih mudah dicerna. Sebut saja situs-situs seperti sciencealert.com atau sciencedaily.com. Mereka banyak mengubah jurnal-jurnal ilmiah dan kemudian memublikasiannya dalam bahasa yang lebih populer, tentu saja dengan tetap menyertakan sumber aslinya.
Sementara di Indonesia, saya belum pernah menjumpai hal yang serupa. Memang kita bisa mengunduh jurnal-jurnal ilmiah melalui situs-situs perguruan tinggi. Tapi itu masih dalam versi gaya bahasa asli. Belum ada yang mau bersusah payah mengomunikasikannya pada masyarakat umum dengan menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami.
Ada pula situs-situs khusus artikel ilmiah, misalnya tentang kesehatan yang sering memuat tulisan-tulisan ilmiah. Tapi kadangkala mereka sering lupa untuk mencantumkan sumber aslinya. Padahal ini adalah kaidah yang penting. Karena bagaimanapun juga artikel ilmiah harus memiliki sumber yang ilmiah pula.
E. Paul Zehr, dalam jurnal A Personal Philosophy for Communicating Science in Society mengemukakan model penyampaian ilmu pengetahuan menggunakan medium budaya populer seperti pada gambar dibawah yang disebutnya sebagai The FUNnel model for Science Communication:
Langkah kedua adalah mulai berbicara tentang konsep ilmiah atau pengetahuan tentang kepadatan penduduk, ketimpangan sosial, bahaya sampah plastik, atau pengetahuan lain yang memiliki relevansi dengan karakter Thanos.Â