Mohon tunggu...
Prima Sp Vardhana
Prima Sp Vardhana Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger yang Pecandu Film dan Buku

Seorang manusia biasa yang belajar menjadi sesuatu bermanfaat, buat manusia lain dan NKRI

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

RUU Pilkada, Polemik Duel Kepentingan (Seri II/Tamat)

22 September 2014   06:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:59 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada era reformasi 1998, euforia politik menyergap bangsa Indonesia. Rasa kebebasan berpolitik  yang selama 32 tahun terbelenggu dengan kuatnya meledak, beragam terobosan demokrasi pun terjadi. MPR RI yang diketuai politisi Amien Rais sebagai lembaga negara tertinggi, dengan beraninya berharakiri melepas kekuasaan legislatif dalam memilih kepala daerah dan kepala negara. Mereka sepakat menerjemahkan pesta demokrasi rakyat, dalam ujud pemilihan umum langsung. Setelah 15 tahun berjalan, pada awal September lalu tiba-tiba enam partai politik bersepakat mengembalikan pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPR. Tak pelak lagi, pembahasan RUU Pilkada pun geger, karena sikap politik mereka menciptakan polemik nasional.

[caption id="" align="aligncenter" width="499" caption="DINASTI Kekuasaan Keluarga Ratu Atut, yang berkuasa atas Provinsi Banten hingga tingkat kabupaten/kota wilayahnya. Juga, lembaga DPRD Banten. Kekuasaan Dinasti Atut itu salah satu produk Pilkada langsung, yang ditaklukan dengan kekuatan fulus dan jaringan kekuasaan terhadap rakyat. (ahmadalidprri.wordpress.com)"][/caption] Pandangan lebih detil atas penyelenggaraan Pilkada dilakukan oleh pengamat politik Siti R Zuhro. Pilkada, menurut Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini, tidak bisa dilepaskan dari pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 1999. Otonomi di daerah (Otoda) menuntut munculnya kepala daerah yang memiliki kapasitas. Kepala daerah betul-betul mampu membawa daerah makmur, maju, dan rakyatnya berdaya sesuai tujuan otoda.

Ironisnya Pilkada oleh DPRD yang diterapkan sejak 1999-2004, dianggapnya tidak berhasil memunculkan pemimpin daerah yang mumpuni. Dalam Naskah Akademik RUU Pilkada yang disusun pemerintah disebutkan, pemilihan oleh DPRD memunculkan problem kapasitas dan akseptabilitas. Pemilihan oleh DPRD menimbulkan kesan ada jarak antara kepala daerah dan masyarakat. Muncul stigma kepala daerah lebih mengutamakan kepentingan anggota DPRD yang memilihnya dibandingkan kepentingan rakyat.

Karena itu, DPR dan pemerintah sepakat mengubah mekanisme Pilkada oleh DPRD menjadi Pilkada langsung. Pilkada langsung yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32/2004. Kesepakatan itu diharapkan menjadi solusi atas kedua problematika pemilihan oleh DPRD. Namun faktanya, pilkada langsung justru menimbulkan sejumlah dampak negatif. Selain biaya penyelenggaraan dan biaya politik yang tinggi, konflik horizontal dan sengketa hukum kerap muncul dalam pilkada.

Tidak hanya itu, Pilkada langsung berpotensi melahirkan penguasaan kekuasaan oleh keluarga tertentu atau dikenal dengan dinasti politik. Jabatan kepala daerah menjadi tahta turun temurun, dari suami kepada istri atau anaknya. Demikian pula pada keluarga jauh mantan kepala daerah, saat keluarga dekatnya sudah kebagian tahta. Atau sistem suksesi ala kerajaan dengan kemasan lain, yang lebih tak terlacak.

Dalam catatan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), politik dinasti yang dihasilkan lewat Pilkada langsung oleh rakyat terjadi di 57 daerah. Salah satunya terjadi di Provinsi Banten yang dikuasai keluarga Gubernur (saat ini nonaktif) Ratu Atut Chosiyah, yang sudah divonis empat tahun penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi pada 1 September lalu. Dalam waktu bersamaan, adik kandung Atut, Tatu Chasanah, menjadi Wakil Bupati Serang. Adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman, adalah Wali Kota Serang, dan adik iparnya yang bernama Airin Rachmi Diany menjabat sebagai Wali Kota Tangerang Selatan.

Demikian pula yang terjadi di Sulawesi Selatan. Praktik politik dinasti tejadi pada keluarga Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo. Saat ini adiknya, yakni Ichsan Yasin Limpo merupakan Bupati Gowa yang dihasilkan oleh Pilkada langsung.

[caption id="" align="aligncenter" width="548" caption="BERBAJU tahanan KPK yang dipakai mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah merupakan salah satu efek domino besarnya dana kampanye Pilkada langsung yang dikeluarkan keluarga Atut. Mengembalikan modal dan bunganya saat berkuasa, menjadi target utama dalam yang menodai amanah rakyat. Jeratan hukum penjara 4 tahun dari sidang tipikor pun menjadi vonis kenakalannya. (hariansib)"]

asasasasa
asasasasa
[/caption] Selain itu, catatan Kemendagri menunjukkan, sejak dilakukannya Pilkada langsung pada tahun 2004, ternyata angka keterlibatan kepala daerah dalam skandal korupsi mengalami kenaikan signifikan. Dari 524 kepala daerah yang dihasilkan lewat Pilkada langsung, ternyata 322 pejabat divonis terlibat korupsi dan harus menghuni kamar hotel prodeo. Kasus yang membelit mereka sangat beragam, tapi sumbernya sama yaitu memanfaatkan APBD kabupaten/ kota yang dipimpinnya, untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Sedangkan hasil penyelidikan dan penyidikan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas skandal korupsi yang melibatkan kepala daerah, tidak dipungkiri Ketua KPK Abraham Samad, beberapa tersangka secara tersirat mengakui perilaku korup yang dilakukan sekadar salah satu cara, untuk mengembalikan anggaran yang dikeluarkan saat mengikuti Pilkada.

Pandangan lebih jauh dilakukan Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI, Mardyanto Wahyu Tryatmoko yang menilai, penyelenggaraan Pilkada langsung menghasilkan fakta dinamika politik local yang cenderung ektrem. Munculnya perseteruan antara pejabat gubernur dan bupati/walikota. Kondisi itu terjadi, karena pejabat bupati/walikota merasa dirinya memiliki privilese politik yang sama dengan gubernur. Rasa itu muncul, karena mereka sama-sama dipilih oleh rakyat secara langsung. Salah satu sumber perseteruan antara gubernur dengan bupati/walikota yang sering terjadi, adalah pilkada secara langsung di dua tingkat pemerintahan sekaligus.

Selain itu, tidak sedikit bupati/walikota yang mengabaikan posisi gubernur, bahkan berambisi untuk segera mengakhiri masa jabatan gubernur di wilayahnya. Sebaliknya, banyak gubernur mengeluarkan kebijakan diskriminatif terhadap kabupaten/ kota saat pejabat bupati/walikota-nya memiliki sika politik yang berseberangan. Bentuk diskriminasi yang banyak terjadi, adalah pembagian dana otonomi khusus, seperti di Daerah Istimewa Aceh dan Papua.

Perseteruan antara gubernur dan bupati/walikota semacam itu, menurut dia, memiliki potensi tak dapat diredam hanya dengan sekadar meningkatkan kewenangan gubernur tanpa pembenahan perekrutan kepala daerah. Ini sudah terbukti dengan hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2010 dan PP Nomor 23 Tahun 2011, yang tak efektif sebagai alat menyelesaikan konflik antara gubernur dengan bupati/walikota.

Saat kabupaten/kota tetap diberi otonomi luas sebagai ujung tombak pelayanan publik, dikatakan, pilkada langsung menjadi sangat relevan diberlakukan dalam kondisi tersebut. Provinsi selayaknya didudukkan sebagai intermediary institution dalam rangka memperkuat jalinan kesatuan antara pusat dan daerah. Sebaliknya, pilkada secara langsung sangat kurang efektif dalam menghasilkan gubernur, untuk dapat memainkan peran sebagai wakil pemerintah pusat, terutama dalam menjalankan fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan.

DUKUNG OTODA

[caption id="attachment_324943" align="aligncenter" width="441" caption="HASIL pembahasan RUU Pilkada harus selaras dengan ruh Otonomi Daerah, yang menjadi sistem pemerintahan NKRI. Metode langsung atau tidak langsung yang diwakili DPRD biarkan masing-masing daerah yang memilih. Karena itu, UU Pilkada harus menawarkan pilihan metode penyelenggaraan. Bukan memaksakan kehendak, karena kepentingan politik golongan dan koalisi."]

14113154591576437545
14113154591576437545
[/caption] Penyelenggaraan pilkada, menurut dia sebagaimana dilansir KOMPAS.COM, perlu berkaca pada jenis sistem pemerintahan yang dianut. Namun, tidak berarti, model pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia saat ini, memprasyaratkan pilkada secara langsung di semua level pemerintahan.

Kasus Amerika Serikat dan Inggris, dikatakan, menunjukkan perekrutan kepala daerah di seluruh tingkat pemerintahan daerah tidak harus kongruen dengan penentuan kepala negara di tingkat nasional. Bahkan, pilkada di level pemerintahan tertentu diberlakukan secara asimetris.

Inggris yang menerapkan sistem parlementer, misalnya. Beberapa tahun terakhir justru getol menerapkan pilkada secara langsung yang berbau presidensial. Payung hukum kebijakan itu adalah The Greater London Authority Act 1999, yang mengantarkan Inggris memilih kepala daerah secara langsung. Setelah itu, pemerintah nasional Inggris mengeluarkan kebijakan menghargai keragaman, dengan merumuskan empat pilihan model pemerintahan lokal yang dimuat dalam UU Pemda Tahun 2000.

Keempat model tersebut adalah mayor/cabinet, mayor/council-manager, cabinet, dan sistem komite yang dimodifikasi (Hambleton dan Sweeting, 2004). Metode pilkada langsung melekat pada model mayor/cabinet dan model mayor/council-manager.

Sedangkan AS, menurut peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI, menerapkan pemilihan semua gubernur negara bagian secara langsung oleh rakyat, tetapi di tingkat city dan municipality menyelenggarakan pilkada tidak seragam. Sebagai negara yang juga menganut sistem presidensial, tidak sedikit pemerintah daerah yang menerapkan model weak-mayor, council-manager, dan city-commission. Ketiga model ini esensinya menerapkan sistem semi-parlementer.

Pilkada dalam model weak-mayor, city-commission, dan sebagian di council-manager, ditegaskan, tidak dipilih secara langsung. Sebaliknya dipilih atau diangkat oleh council. Jika dikalkulasi, pemda yang tidak menerapkan pilkada langsung lebih banyak dengan perbandingan sekitar 60:40 (ICMA).

“Sistem pemilu yang beragam di AS dan Inggris itu merupakan pelajaran yang dapat diambil Indonesia dalam menggelar pilkadawa penyelenggaraan pilkada di semua lapis pemerintah daerah tidak harus kongruen dengan sistem pemerintahan di tingkat pusat,” katanya.

Karena itu, penentuan sistem pilkada tidak harus didasarkan atas alasan kebaikan demokrasi langsung atau efisiensi secara terpisah. Menurut dia, lebih penting dari beragam argumen dlam penentuan pilkada, adalah berdasar pada konteks sistem otonomi daerah. Selain itu, kapasitas, dinamika lokal, dan keinginan melakukan sebuah pemerintahan bersih yang perlu menjadi bahan pertimbangan.@ (TAMAT)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun