Mohon tunggu...
Pretty Aziza
Pretty Aziza Mohon Tunggu... Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Bisnis, Universitas Krisnadwipayana

Seorang dosen Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) yang memiliki fokus pada pengelolaan SDM yang inklusif. Selain mengajar, juga aktif dalam penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu juga memiliki perhatian khusus pada pengembangan sumber daya manusia untuk meningkatkan daya saing pasar. Dalam aktivitas akademik dan profesional, sering mengintegrasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk menciptakan solusi inovatif bagi tantangan MSDM di berbagai sektor.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maju Terlebih Dahulu atau Maju Bersama ? Paradoks Inklusivitas dalam Pembangunan Bangsa

17 Maret 2025   20:50 Diperbarui: 17 Maret 2025   20:52 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inklusif dulu atau maju dulu?

Pendahuluan 

Isu inklusivitas kini menjadi topik hangat, terutama ketika pemerintah mendorong penerapannya di berbagai sektor seperti pendidikan, dunia usaha, dan sektor publik. Namun, di balik semangat inklusif tersebut tersimpan dua perspektif yang tampak bertolak belakang:

  1. Agar maju, kita harus menerapkan budaya inklusif.
    Perspektif ini berargumen bahwa kemajuan suatu bangsa dapat dipercepat melalui penerapan nilai-nilai inklusif. Dengan membuka ruang bagi keberagaman---baik dalam hal latar belakang, gender, budaya, maupun ideologi---kita dapat mengoptimalkan potensi kreativitas dan inovasi. Contohnya, negara-negara Nordik seperti Swedia dan Norwegia telah lama dikenal dengan sistem kesejahteraan dan kebijakan inklusifnya. Mereka tidak hanya merangkul perbedaan, tetapi juga mengintegrasikan berbagai perspektif sebagai kekuatan untuk mencapai kemajuan sosial dan ekonomi.

  2. Untuk menerapkan budaya inklusif, bangsa harus maju dulu.
    Di sisi lain, ada pandangan bahwa inklusivitas memerlukan kesiapan mental, infrastruktur, dan budaya yang sudah matang. Dalam konteks Indonesia, perbedaan pandangan, keterbatasan sarana, serta mental dan kesiapan yang bervariasi di masyarakat menjadi tantangan besar. Tanpa fondasi kemajuan---baik dari segi pendidikan, ekonomi, maupun kesadaran sosial---penerapan nilai-nilai inklusif bisa jadi masih dianggap prematur dan sulit diimplementasikan secara menyeluruh. Negara-negara berkembang seperti India, misalnya, menghadapi tantangan serupa di mana upaya mencapai inklusivitas harus disertai dengan pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan agar pesan-pesan keberagaman dapat diterima secara lebih utuh.

Inklusivitas sebagai Katalis Kemajuan

Para pendukung perspektif pertama berpendapat bahwa menerapkan budaya inklusif sejak dini akan menciptakan iklim inovatif dan kolaboratif. Berikut beberapa poin pendukungnya:

  • Optimalisasi Potensi Sumber Daya Manusia:
    Dengan membuka akses dan peluang bagi semua kalangan, kita dapat memaksimalkan kreativitas dan kemampuan individu yang berasal dari latar belakang beragam. Ini sangat penting dalam mendorong inovasi dan penyelesaian masalah secara kolektif.

  • Mendorong Keadilan Sosial dan Ekonomi:
    Kebijakan inklusif dapat mengurangi kesenjangan sosial dan mendorong pemerataan kesempatan, yang pada akhirnya memperkuat kohesi sosial dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

  • Contoh dari Negara Maju:
    Negara-negara seperti Kanada dan Belanda telah membuktikan bahwa dengan menerapkan kebijakan inklusif, mereka tidak hanya menciptakan masyarakat yang adil, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi melalui inovasi dan kolaborasi lintas sektor.

Kemajuan sebagai Prasyarat Implementasi Inklusivitas

Sementara itu, perspektif kedua menekankan bahwa kondisi dasar kemajuan harus terlebih dahulu terpenuhi agar nilai inklusivitas dapat diimplementasikan secara efektif. Beberapa poin yang mendukung pandangan ini meliputi:

  • Kesiapan Mental dan Budaya:
    Menerapkan inklusivitas bukan sekadar mengubah kebijakan, tetapi juga mengubah cara pikir dan budaya. Di masyarakat dengan perbedaan pandangan dan nilai yang kuat, transformasi mental ini memerlukan waktu dan kemajuan dalam bidang pendidikan serta peningkatan literasi sosial.

  • Infrastruktur dan Sarana yang Memadai:
    Tanpa adanya dukungan infrastruktur---mulai dari sistem pendidikan yang merata hingga akses informasi yang luas---upaya mengimplementasikan kebijakan inklusif bisa terhambat. Kesenjangan fasilitas antar daerah menjadi contoh nyata di mana kemajuan harus diupayakan terlebih dahulu.

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun