Mohon tunggu...
Yudha Pratomo
Yudha Pratomo Mohon Tunggu... Jurnalis - Siapa aku

is typing...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tentang Saya dan Kami bagi Pemimpin

15 Februari 2018   08:41 Diperbarui: 15 Februari 2018   19:59 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Gettyimages

Bangun tidur, 15 Feb. 2017

Barcelona kala itu tengah dilanda kegalauan. Frank Rijkaard yang telah melatih selama lima musim memutuskan untuk berhenti. Di 2008, Barcelona diterpa kegamangan, soal siapa yang cocok menjabat sebagai suksesor Rijkaard.

Satu nama kemudian muncul. Kandidat terkuat ketika itu adalah Jose Mourinho, pelatih yang tahun sebelumnya baru saja meninggalkan London Biru--lebih tepatnya dipaksa meninggalkan London oleh sang saudagar Rusia karena prestasi yang tak kunjung membaik. Padahal 4 tahun sebelumnya Mourinho membawa FC Porto melampaui batas kemampuannya, menjuarai Liga Champions.

Jose Mourinho juga adalah seorang Barcelona. Ia pernah menjadi asisten pelatih (lebih tepatnya penerjemah) mendiang Bobby Robson dan Louis van Gaal di Catalan. Mourinho tak sekadar menjadi penerjemah saat era Van Gaal di Barcelona. Ia juga diberikan peran tambahan oleh mentornya itu mengelola tim A dan B di Barcelona. Xavi Hernandez adalah salah satu hasil binaan Mourinho yang sukses melejit dan bahkan menjadi salah satu legenda.

Seharusnya tidak sulit lagi Barcelona memutuskan pada siapa kursi kepelatihan: Mourinho calon terkuatnya. Jiwa Barcelona sudah cukup melekat dan kemampuannya sebagai seorang pelatih tak perlu diragukan lagi. Direktur Olahraga Barcelona pun sudah sangat terkesan dengan performanya.

Tapi ada satu hal yang mengganjal, yang membuat semua rencana buyar seketika. Bayangan kesuksesan Barcelona di tangan Mourinho hanya tinggal angan, aura kemenangan pun hilang entah kemana. Manajemen tim memilih untuk membatalkan perekrutan Mourinho dan mengangkat Guardiola sebagai pelatih.

Alasannya sederhana. Karena Mou (panggilan Mourinho) lebih banyak menekankan kata "saya" daripada "kami (Barcelona)".

Penggalan cerita di atas saya ambil dari ulasan berjudul "Ego Seluas Lapangan Bola". Diceritakan bagaimana keputusan bisa berubah total hanya karena perbedaan satu kata yang diucapkan.

Dari cerita di atas bisa kita simpulkan bahwa Barcelona sangat berhati-hati dalam memilih seorang pelatih. Karakter, aspek inilah yang paling menentukan. Memilih pelatih artinya memilih seorang pemimpin, juru racik, serta menara komando baik di luar maupun di dalam lapangan sehingga perlu pertimbangan matang untuk mendapat nama yang tepat.

Karakter seorang pemimpin yang tepat salah satunya adalah dengan tidak membawa kata "saya" di setiap kepentingan. Ia akan selalu membawa kata "kami" karena ia adalah representasi dari sebuah kumpulan heterogen yang memiliki satu tujuan yang sama.

Secara harfiah, "saya" dan "kami" memang sangat berbeda artinya. "Saya" mewakili tunggal sedangkan "kami" adalah jamak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun