Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kultur Rimbawan

5 Desember 2020   12:24 Diperbarui: 5 Desember 2020   12:27 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KULTUR  RIMBAWAN

Sebagai orang yang pernah berkuliah di Fakultas Kehutanan IPB Bogor era akhir tahun 70'an, semua mahasiswanya ditampung dalam lingkungan asrama (dormitory) khusus mahasiswa fakultas kehutanan di Darmaga Bogor (waktu itu terdapat tiga asrama mahasiswa Sylvasari, Sylvalestari dan asrama Putri).

Biasanya asrama mahasiswa terdiri dari tiga angkatan atau level yaitu tingkat II, III dan IV. Tanpa disadari dan secara tidak langsung , mereka membentuk komunitas dalam skala yang relatif kecil dan membuat jiwa korsa yang makin kuat tanpa memandang senior-junior, asal etnis, agama, golongan dan sebagainya. Kehidupan asrama yang rata-rata ditempuh dan dijalani sampai lulus yang membutuhkan waktu sekitar tiga tahun, membuat pribadi-pribadi penghuni asrama menjadi gujub-rukun dan merasa senasib dan sepenanggungan antara satu dengan lainnya. Internalisasi jiwa korsa sebagai sesama calon rimbawan, pelan tetapi pasti merasuk dalam jiwa sanubari para penghuninya dengan nuanasa yang saling membantu dan menolong satu dengan yang lain bila ada penghuni yang mengalami kesusahan.

Suasana guyub rukun tercipta di ruang-ruang asrama seperti meja makan, ruang baca surat kabar, ruang nonton TV (kala itu hanya terdapat satu saluran TVRI saja), lapangan volley ball, meja belajar dikamar masih ditambah lagi diruang kuliah dikampus. Pendeknya, semua merasa bersaudara satu dengan lainnya. Salah satu ada yang sakit atau kesulitan dalam finansial, yang lainnya akan saling membantu, begitu juga sebaliknya. Dalam ilmu sosiologi, modal sosial yang dibangun secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan asrama dan mahasiswa fahutan IPB di Darmaga nampaknya terpupuk dengan baik dan ternyata dikemudian hari membentuk suatu kultur secara luas sebagai kultur rimbawan.

Tanpa Batas

Kultur rimbawan ini ternyata tidak terbatas pada saat kuliah maupun dalam lingkuangan komunitas asrama saja, menembus tanpa batas sampai dengan pada saat tugas praktek/penelitian  lapangan , mencari kerja maupun dalam komunitas tempat bekerja. Proses membentuk jejaring yang sangat luas dan masif secara tidak langsung terbentuk  dalam kultur rimbawan yang dibangun sejak mulai kuliah dan menjadi mahasiswa kehutanan ini, saya rasakan dan alami sendiri dan membantu serta memberi kemudahan hidup.

Saat menginjak semester akhir untuk tugas penelitian, orang tua saya punya kesulitan untuk membiayainya, maklum pensiunan yang masih punya tanggungan biaya sekolah adik-adik. Terpaksa, saya yang masih berstatus mahasiswa berpikir keras untuk mencari sponsor membiayai biaya penelitian tersebut.

Syukurlah, saya mendapat dosen pembimbing yang mempunyai proyek penelitian yang dibiayai oleh Ditjen Dikti Kementerian P dan K waktu itu yang secara kebetulan lokasinya berada diwilayah kerja PT. Inhutani II,  P. Laut Kalimantan Selatan. Secara kebetulan, Direktur Produksi PT. Inhutani II waktu itu, merupakan alumnus Fahutan IPB juga dan jauh lebih senior dibanding saya , sehingga saya mendapat bantuan fasilitas transpotasi dari Jakarta-P. Laut-Jakrata dan akomodasi selama melakukan penelitan di P. Laut.

Dalam komunitas tempat kerja selama saya bertugas di Kementerian Kehutanan dan terakhir menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dipusat (Gedung Manggala Wanabakti) Jakarta , secara tidak langsung jejaring kerja yang telah lama terbangun sejak kuliah, secara otomatis terbentuk dengan sendirinya. Pejabat-pejabat KLHK yang dari eselon I, II dan III pada umumnya adalah wajah-wajah yang tidak asing dan sering bertemu dikampus maupun diasrama baik kakak kelas (senior) maupun adik kelas (junior), sehingga memudahkan dalam berkoordinasi secara horizontal maupun vertikal, tanpa melihat sekat-sekat yang ada.  

Setelah hampir empat dekade berlalu (39 tahun) sejak keluar dari lingkungan kampus maupun asrama di Darmaga Bogor setelah lulus dari Fahutan IPB tahun 1981, apakah kultur rimbawan masih dipertahankan dengan baik sampai sekarang?

Pertanyaan ini terlontar lantaran sejak daya tampung asrama yang dikhususkan untuk mahasiswa kehutanan tidak mencukupi karena awal tahun 80'an jumlah mahasiswa yang meningkat dari tahun ketahun, menyebabkan sebagian mahasiswa tidak tinggal diasrama dan indekost diperumahan penduduk disekitar kampus. Padahal salah satu perekat kuat dari terbentuknya kultur rimbawan adalah rasa senasib, sepenanggungan, persaudaraan yang tinggal bersama-sama dikomunitas asrama tersebut. Moga-moga kekhawatiran saya tidak terbukti karena sesungguhnya kultur rimbawan ini telah terbangun sejak berdirinya Fakultas Kehutanan IPB sekitar tahun 1963 lalu. Bravo rimbawan IPB.

PRAMONO DWI SUSETYO

Kompasiana, 5 Desember 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun