Namun ada beberapa dampak negatif yang perlu diwaspadai:
1. Kesiapan FKTP menyediakan obat-obatan yang sesuai dengan penyakit pasien, misalnya mereka sudah tercicip obat maag  yang klas I, apakah obat tersebut sanggup disediakan di FKTP sampai 2 bulanan? Padahal pembayaran kapitasinya tetap? Khusus pasien orang tua dengan gangguan nyeri yang menahun dan pergeseran tulang belakang, apakah dapat diberikan obat antinyeri yang cukup kuat dan aman bagi lambung dan ginjal?
2. Kesiapan peserta, apakah sudah tersosialisasikan bahwa rujukan non kronis mungkin saja hanya dapat dipakai 1 kali walau masa berlakunya 1 bulan? Pasien BPJS K yang tidak tahu peraturan baru biasanya pasrah saja dikembalikan ke FKTP, tetapi anak-anaknya atau menantunya biasanya yang marah-marah tidak terima.
3. Rumah sakit yang 80%-100% pasiennya dari BPJS Kesehatan pasti akan jauh berkurang kunjungan polikliniknya, bila dokter spesialisnya tidak mampu menunjukkan kinerja yang baik. Jadi, misalnya pasien BPJS Kesehatan rujukannya tidak laku lagi dan mau berobat mandiri, mereka memilih spesialis di rumah sakit lain yang lebih 'dipercaya' dibandingkan di rumah sakit ini, mereka terpaksa ke rumah sakit itu karena rujukannya mengarahkan kesana.
Suka atau tidak suka langkah ini perlu BPJS Kesehatan ambil karena pemberdayaan FKTP harus lebih dioptimalkan, mengingat 4 tahun pelaksanaan BPJS Kesehatan klaim pelayanan di rumah sakit semakin meningkat termasuk penyakit katastropik yang seharusnya dapat dicegah dan dikendalikan sejak tingkat dasar. Peranan promosi, prevensi dan edukasi yang baik seharusnya dapat mengendalikan dua penyakit utama yang membuat biaya penyakit katastropik terbesar yaitu diabetes melitus dan hipertensi suka atau tidak suka dapat dinyatakan gagal.
Memang program Jaringan Kesehatan Nasional adalah program strategis pemerintah, namun sumber dananya bukannya tidak terbatas, segala macam kemungkinan inefisiensi dan inefektifitas seharusnya dikendalikan sampai seminim mungkin.
Setuju?