Mohon tunggu...
Ponco Dwi Putra
Ponco Dwi Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Bunga Barah

Yang terus belajar dalam pelbagai diskusi, yang terus mencari akan sebuah arti, yang…

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Tradisi Nyekar pada Masa Pandemi

8 Juni 2020   13:43 Diperbarui: 8 Juni 2020   13:45 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Selepas Shalat Idul Fitri, biasanya di kampung halaman saya memeliki tradisi yang dikenal dengan nama nyekar. Yang dimaksud nyekar adalah melakukan lawatan kepada sanak saudara yang telah gugur dan lebih dahulu menghadap sang pencipta. 

Bisa dikatakan nyekar ini merupakan kegiatan wajib turun temurun bagi sebagian warga di lingkungan saya. Kebiasaan ini menjadikan tradisi nyekar sebagaimana kebiasaan yang bertengger di list awal sebelum ketupat sayur dan halal bi halal ke tetangga.

Biasanya, tradisi nyekar ini meliputi kegiatan berdoa bersama untuk mayit yang telah bersemayam, juga merupakan titik kumpul keluarga dalam suasana yang berbeda. Yang dimaksud berbeda adalah bagaimana suasana sepi yang mengantarkan pada pemikiran bahwa kematian begitu dekat diantara kita, bisa jadi yang kemarin masih bisa bercengkrama bersama, dilalah besoknya sudah pergi di panggil sang kuasa. 

Maka diantara pertemuan itu, tak ayal banyak tangis yang pecah karena di pincut kenangan-kenangan manis bersama orang yang telah gugur juga rasa takut membayangkan kelak akan menyusul. Tapi yang terang, tradisi nyekar ini merupakan kegiatan yang baik, karena kanjeng Nabi Muhammad pernah berpesan; "Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian". (HR. Muslim no.108, 2/671).
Tradisi nyekar setidaknya tidak melulu setelah sholat Idul Fitri, banyak yang melakukannya lebih awal, yakni ketika menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, dengan bekal meminta maaf kepada yang telah gugur agar ibadah-ibadah di bulan tersebut lebih khusyu karena di buka dengan bermaaf-maafan juga sebagai pengingat begitu dekatnya kematian -- setidaknya pengakuan ini yang saya dapati dari rekan yang biasanya nyekar ketika hendak memasuki bulan ramadhan.

Pada masa ini, ada yang menarik dalam tradisi nyekar karena adanya pergeseran kebiasaan. Perlu diketahui, dewasa ini kita dihadapi pada siklus penyebaran penyakit yang menjarah seantero negerti atau bahkan bumi. Mengapa bisa bilang demikian? Karena istilah pandemi yang di rilis oleh WHO menandakan bahwa dasyatnya ancaman penyakit ini terhadap kemaslahatan manusia. 

Dengan demikian label penyakit berbahaya ini menunut pemerintah untuk mengambil sikap, maka yang tercipta -- terkhusus di negeri ini, adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (selanjutnya PSBB).

PSBB bisa diartikan sebagai adanya pembatasan gerak-gerik masyarakat ketika hendak melakukan hubungan sosial. Pembatasan ini mewajibkan para warganya untuk membatasi diri berhubungan dengan orang lain, seperti sholat berjamaah, olahraga bersama, pengajian, acara pernikahan, dan lain-lain, yang mengakibatkan terjadinya perkumpulan banyak orang. 

Pembatasan ini tentu saja menindak lanjuti dari keresahan akan bahayanya virus covid-19 karena begitu mudah menular dan menjangkit banyak orang hanya dengan bersentuhan, udara, dan sebagainya. Yang paling mengkhawatirkan adalah tentang dampak dari penyakit ini yang paling beresiko adalah kematian. Tentu saja, melihat bahayanya resiko tersebut maka pemerintah dengan tegas menggemborkan status PSBB, guna menghindari resiko yang tidak ingin terjadi.

Nah, akibat dari PSBB ini menjadikan kita untuk lebih mewanti-wanti diri agar tetap diam dirumah, maka tagar #dirumahaja menjadi bentuk kampanye positif agar masyarakat lebih patuh atau paham akan gentingnya permasalahan ini. Selain itu lahirnya protokol keseheatan juga menjadi senjata untuk meredam atau bahkan memutus rantai penyakit sekalipun. Dengan demikian, menyikapi fenomena tersebut banyak kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menyambut bulan suci Ramadhan ini yang berubah, termasuk tradisi nyekar.

Biasanya, menjelang bulan Ramadhan, orang berbondong-bondong ramai memenuhi Tanah Pemakaman Umum (selanjutnya TPU), gambaran ini selalu saya dapati pada lingkungan TPU dekat rumah. Namun seperti yang sudah tertulis sebelumnya, masa pandemi ini merubah segalanya, termasuk tradisi nyekar.

Tidak seperti awal bulan Ramadhan sebelumnya, yang biasanya banyak pedagang bunga atau rentetan mobil berjejer yang memakan bahu jalan untuk parkir, sampai ramainya orang lalu lalang. Kondisi ini berbanding terbalik dengan apa yang menjadi gambaran sebelumnya. Tentu saja bisa dibilang hal ini dilatari oleh sikap naluri manusia yamg memiliki rasa takut juga hangatnya himbauan media serta pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun