Mohon tunggu...
anis ardi
anis ardi Mohon Tunggu... -

mahasiswa universitas airlangga pengemat politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Titik Cerah Perjalanan Rancangan Undang-undang Ormas (RUU Ormas), Dalam Konstelasi Sosial Politik Indonesia

9 April 2013   11:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:28 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

TITIK CERAH PERJALANAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG ORMAS (RUU ORMAS),

DALAM KONSTELASI SOSIAL POLITIK INDONESIA

Anis Maryuni Ardi, Robi Setyanegara, Dkk

PENGANTAR

Negara merupakan organisme yang berkembang dalam menentukan arah perjalanan eksistensinya, sebuah aksioma bahwa Indonesia adalah negara hukum, memberikan berbagai konsekuensi logis bagi warga negara untuk menjalankan regulasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah yang berdaulat. Dalam konteks ini, hukum harus dipatuhi secara mutlak, hukum positif dan substantif haruslah sama-sama dijunjung tinggi, aparat legislatif pastilah mempunya kerangka yang rasional untuk memberikan ketentuan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun apakah hukum adalah produk independent atau dependent? Tentu ini menjadi pertanyaan klise yang sudah nyata hukum adalah aspek bias politik dan bias demokrasi.

Hal ini menjadi fenomena rasional dengan alasan, sisitem multipartai di Indonesia melahirkan kabinet dengan koalisi yang gemuk, menurut teori Dahrendof, fenomena dominasi kekuasaan akan melahirkan konflik yang terlembaga maupun tidak. Arena rawan konflik adalah aspek regulasi yang dipegang oleh Legislatif (DPR) sebagai badan yang mempunyai wewenang membuat Undang-undang, tak jarang produk hukum menjadi tidak netral dan sarat akan kepentingan. Berbagai Rancangan Undang-undang harus dicermati dengan penuh pertimbangan, agar legitimasi kekuasaan tidak dipergunakan untuk memperkuat dominasi status quo.

Menyambut tahun politik 2014, penulis mengkaji ada beberapa aspek regulasi yang layak untuk dibicarakan dalam kerangka akademis dan pergerakan mahasiswa. Saat ini penulis fokus untuk memerhatikan perkembangan RUU ORMAS, dengan pertimbangan RUU ini akan berdampak makro terhadap gerakan sosial politik dan berindikasi menciptakan “structural strain”. Dampak sistemik juga akan memberikan disorientasi terhadap integrasi bangsa. Thesis yang muncul adalah persoalan apakah jika RUU ini disahkan pada 12 April 2013 akan menjadi langkah mundur bagi demokrasi di Indonesia?.

PRO DAN KONTRA RUU ORMAS

Rancangan Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) tak dipungkiri menimbulkan kontroversi yang luas di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya interpretasi yang mengatakan bahwa jika RUU Ormas ini disahkan maka negara ini akan kembali menganut rezim otoriterianisme seperti zaman Orde Baru, di mana kebebasan masyarakat sipil untuk berserikat dibatasi dan diancam dengan tidakan represif oleh pemerintah ketika itu. RUU Ormas ini pada dasarnya adalah untuk merevisi UU nomor 8 tahun 1985. Jika tidak ada aral melintang, Pansus RUU Ormas dan pimpinan DPR telah sepakat untuk mengesahkan RUU Ormas dalam rapat paripurna 12 April 2013 mendatang.

Rangkaian aksi nyata di sejumlah daerah, misalnya Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia yang terdiri atas seratusan organisasi kemasyarakatan dengan tegas menolak Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas). RUU Ormas tidak urgen. Melihat prosesnya, kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, RUU Ormas sarat dengan muatan politik. Sebab, ada indikasi akan dijadikan alat legitimasi politik pemerintah. RUU Ormas akan menjadi alat represif dan rezim otoriter. Hal ini terlihat dari rumusan Pasal 62 RUU Ormas yang menyebut pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan sanksi dan membekukan Ormas tanpa proses peradilan.

semua warga negara harus mendukung empat pilar berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, ini merupakan hal kontradiktif jika RUU ORMAS edisi sidang sebelum 2013, karena sifatnya yang anti kemajemukan ada tendensi kuat yang mengarah pada penyeragaman, tidak pro kemajemukan, dan berpotensi menimbulkan perpecahan di masyarakat. Ini terlihat dari rumusan Pasal 2 dan 3 tentang asas yang mengarah pada azas tunggal Pancasila. Kemudian dalam pasal 7 atau 2 dan aturan administrasi lain yang menyulitkan ormas. Artinya ada berbagai hal yang menyebabkan kondisi diskriminatif muncul. ormas-ormas sayap partai politik sama sekali tidak diatur dalam RUU ormas. Hal ini justru dapat melemahkan eksistensi masyarakat sipil dan berpotensi menimbulkan oligarki politik kekuasaan oleh partai politik.

RUU Ormas akan membubarkan ormas-ormas perkumpulan. Yaitu, pada Pasal 86 tentang ketentuan penutup. RUU Ormas akan mencabut keberadaan Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang perkumpulan-perkumpulan berbadan hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen). Artinya, ormas-ormas perkumpulan akan hilang status hukumnya. Namun yang tepenting, RUU Ormas ini bersifat Ahistoris, sebelum jaman kemerdekaan, Ormaslah yang turut andil menyiapkan ide besar dan distribusi kepemimpinan untuk persiapan kebangkitan bangsa, namun ternyata setelah reformasi hal paradoks ini kemudian muncul. Rangkaian aksi sejak november-8 April kemarin, menunjukkan betapa masyarakat peduli akan kepentingan umum dan berjalannya arus demokrasi dan kebebasan berserikat.

Materi di RUU Ormas sudah banyak mengalami perubahan setelah mendapat masukan dari sejumlah ormas, termasuk ormas-ormas Islam. Sementara itu Ketua Pansus RUU Ormas Abdul Malik Haramain menjelaskan sebenarnya ada tiga pilihan dalam menetapkan asas ormas. Pilihan pertama sesuai UU no.8/1985, Pancasila sebagai asas tunggal. Kedua asas ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan pilihan ketiga, asas ormas berdasarkan Pancasila dan ormas boleh mencantumkan asas-asas lainnya.

Pada akhirnya, jelas, yang dipilih adalah opsi ketiga. Pilihan ini memberikan jalan tengah bagi ormas-ormas yang berasaskan keagamaan, termasuk bagi ormas keislaman. Adapun yang dimaksud dengan tidak bertentangan dengan Pancasila, perubahan draf RUU ini telah menegaskan secara spesifik, yakni  komunisme, marxisme, leninisme.

Selain itu, masih terdapat kontroversi terkait sanksi yang diberikan pemerintah kepada ormas yang dinilai melanggar aturan. Menurut sejumlah kelompok pengkritisi, RUU Ormas memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk memberikan sanksi bahkan membubarkan ormas secara sepihak. Namun dalam draf perubahan dijelaskan bahwa sanksi yang diberikan kepada ormas pendekatannya tetap pada pembinaan. Tidak serta-merta ormas yang melanggar aturan itu dikenai sanksi keras. Sanksi sifatnya berjenjang. Ada teguran, Surat Peringatan (SP) I, SP II, SP III. Pembubaran ormas pun tidak dapat dilakukan sembarangan. Bukan pemerintah yang memutuskan untuk memberikan sanksi pembubarann kepada ormas, tapi lembaga hukum yang memutuskan, yaitu pengadilan.

Terkait polemik tentang aturan yayasan, Kasubdit Ormas Ditjen Kesbangpol Kemendagri, Bahtiar menampik anggapan yang menyebut seluruh ormas harus melaporkan keberadaannya ke kemendagri. Dijelaskan, saat ini lebih 67 ribu ormas telah terdaftar di kemendagri dan pemda. Lebih 19 ribu terdaftar di kemsos, ratusan telah terdaftar di kemenakertrans, puluhan ribu telah terdaftar sebagai badan hukum perkumpulan/yayasan di kemenkum-HAM. pembinaan serikat buruh atau pekerja tetap menjadi kewenangan kemenakertrans. Begitu pun milsanya, organisasi kepemudaan oleh kemenpera. Dan semua badan hukum perkumpulan atau yayasan yang telah ada atau telah disahkan sebelum adanya RUU tetap diakui keberadaannya dan tak perlu mendaftar lagi. Kemudian, kontroversi tentang pendanaan ormas yang dinilai publik akan membahayakan lembaga amil zakat (LAZ), Direktur III Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Ditjen Kesbangpol) Kemendagri, Budi Prasetyo, menyatakan RUU ini tidak mengatur tentang LAZ. Disebutkan, RUU Ormas tidak mengatur LAZ dan soal LAZ telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Ormas juga tetap bisa membuka cabang di luar negeri.

PENUTUP

Lord Acton menyatakan “Power is corrupt, and Absolutely power is corrupt absolutely”. Dengan tinta penulis mencoba menjadi elemen stabilisator kebijakan pemerintah agar tidak absolut, karena “the strongest noise is more weakers than palest ink.“ Dalam hemat kata penulis mencoba untuk mengelaborasikan berbagai dinamika di Indonesia untuk mengawal menuju masa depan yang lebih baik. Jika kondisi intraparlementer memberikan gejolak bagi psikologis rakyat indonesia, mahasiswa sebagai salah satu elemen gerakan sosial politik ekstraparlementer siap untuk memberikan wawasan dan alternatif solusi melalui kajian dan aksi dan advokasi. Atas nama mahasiswa kami peduli dan percaya bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa besar, melalui pembenahan di setiap dimensi yang ada di dalamnya. #Saatnyakitaterbang.

Dalam konteks kalimat berarti Bentuk, susunan, tatanan.

Penulis merupakan Sekretaris Departemen kajian dan aksi strategis KAMMI pada tahun 2013, dengan status AB2 dan penstudi Ilmu Politik, FISIP angkatan 2010 UNAIR.

Penulis merupakan staff ahli kajian di departemen Kastrat, bergabung dengan KAMMI mulai akhir Maret 2013 dan penstudi Ilmu Politik FISIP 2012 UNAIR

Di sadur dari Draft Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun