Pemaknaan bahasa, entah dalam kitab suci, hagiografi, maupun refleksi spiritualitas memengaruhi caraku memahami doa. Doa merupakan (dalam rumusan Thomas Aquinas) gabungan antara oral action +rational action. Dalam sebuah doa, ada dimensi intelektual, estetis, dan afektif.
Intelektual, karena yang berdoa adalah manusia yang dianugerahi akal budi. Setiap inderaku setiap hari dijejali dengan seribu satu persepsi. Dari padanya aku memahami, menguraikan unsur pertentangan dan persamaan antar gejala, serta menilai. Penilaian ini dalam arti mengambil jarak kritis antara apa yang "baik" dengan kenyataan itu sendiri (Per se).
Estetis, terlebih karena fonem itu selalu bercita rasa khusus. Dalam doa, aku menerima sekaligus mengungkapkan rangkaian puisi. Dalam puisi ada metafora. Dimensi metaforis merupakan jarak tak terseberangi antara kata-kata dan realitas. Untuk itu, doa terbuka pada seribu satu tafsir.Â
Afektif. Ah, ada satu ruang dalam batin, entah itu puri, bait, atau kamar, tetapi yang jelas paling pribadi. Doa yang menyentuh rasa dapat disalahartikan berhenti pada sentiment dan emosi. Justru inilah kawasan antah berantah, aspek paling tidak sadar, yang memengaruhi 90% keputusanku. Maka, dimensi ini terbuka sedemikian besar pada apapun yang ditaruh di dalamnya.Â
Jika emosiku tersentuh pada hal jahat-sensual-ekstrem, maka keputusanku akan berwarna demikian. Justru aku menjaga agar Sang Sumber - dengan penuh kerendahan hatiku - menjamah dimensi ini: dengan rahmat baru setiap hari.Â