Ini pengalaman spiritualku yang masih "fresh from oven", semoga bisa bermanfaat bagi yang lain.Â
Karena ini adalah Malam Jum'at, kuniatkan untuk Shalat Jamaah Maghrib dan Isya di Masjid Raya Pulo Asem (MRPA) yang dekat dengan rumah. Seusai shalat Maghrib berjamaah, saya tetap di tempat... menunggu datangnya Adzan Isya... sambil Shalat Rawatib dan berzikir. Â
Di keheningan masjid, tiba-tiba di belakangku ada suara 2 bapak jamaah shalat Maghrib yang ngobrol ngalor ngidul. Rupanya niat mereka sama denganku... tetap di dalam masjid menunggu Adzan Isya.Â
Awalnya suara ngobrol mereka, kutak perdulikan dan aku tetap berzikir. Tapi entah, merekanya yang makin "berisik" atau saya sendiri yang "tidak khusyu"... kok saya merasa terganggu.Â
Dalam kondisi ini, saat ingin beribadah di masjid tapi terganggu oleh "noise" oknum jamaah, ada 3 pilihan sikap :Â
1). Tetap di tempat... berzikir, berusaha lebih fokus dan khusyu, untuk "mengatasi" suara berisik itu,Â
2). Berani menegur oknum jamaah itu dan memintanya untuk diam dan mempersilakan melanjutkan pembicaraan mereka di luar, serambi masjidÂ
3). "Mengalah" dengan pindah tempat, menjauhi mereka sehingga saya bisa tenang berzikir dan merekapun tidak saya tegur
Pilihan Pertama, DIAM di tempat, membiarkan "status quo" adalah pilihan TERMUDAH dan saya kira paling BANYAK diambil oleh orang-orang jika berada di situasi yang sama. Pasrah, nrimo... menjaga keharmonisan dan menghindari konfik.. tipikal masyarakat Timur dan rakyat kita.Â
Kelemahan sikap "mulia" ini adalah "korban perasaan" dan sesungguhnya bukan "bersabar" tapi  refleksi dari ketidakberdayaan. Bayangkan selama sekitar 1 jam menunggu Adzan Isya, saya terpaksa harus "bersabar" membiarkan zikir saya terganggu oleh suara berisik.Â
Untuk level keimanan saya saat ini, hasilnya : khusyu tidak dapat, yang ada jengkel di dalam hati. Sikap "everything is fine" dan "pura-pura bahagia" yang menyiksa ini jelas bukan pilihan saya, yang punya prinsip hidup (insya Allah, sesuai Sunnah) : Jangan menzhalimi dan jangan mau dizhalimi.Â