Ini bukan kisah pembual atau cerita pepesan kosong pencari citra baik di hadapan media.
Saya sering berjumpa dengan iring-iringan pengantar jenazah di Kota Makassar, sebenarnya bukan hanya di Kota Daeng kota lain pun mempunyai permasalahan serupa.
Ketika ada orang meninggal dunia para pelawat atau pelayat dan keluarga terdekat turut mengantar jenazah hingga ke liang peristirahatan terakhirnya. Konvoi ini tentu tidak terjadi sekali, melainkan beberapa kali. Mereka berpolah hingga meresahkan lalu lintas jalan raya. Paling menarik perhatian dari prosesi mengantar jenazah ialah sikap iring-iringannya yang kurang menjaga sikap terpuji. Bahkan mereka kerap memertontonkan arogansi di khalayak ramai. Padahal ngebut dengan maksud memberi akses jalan bagi mobil ambulance pengantar jenazah bukan budaya timur.
Mereka bermotor ugal-ugalan, boncengan tiga, tidak mengenakan helm serta mengoyang-goyangkan tongkat, panji-panji seenaknya. Itulah hal yang sering saya jumpai saat berpapasan dengan para pelayat di jalanan. Jenazah tetaplah jenazah sudah tak bernyawa dan sewajarnya menjaga ketertiban umum.Â
Benar, jenazah harus disegerakan dikubur ke liang lahat. Yang sangat disayangkan adalah terkadang pengantarnya lebih sangar dari jenazahnya itu sendiri, tidak berhenti sampai disitu saja, pelanggaran sering kita temui, iring-iringan tadi membawa properti mulai dari bambu panjang hingga tongkat balok kayu guna menghalau kendaraan lain dan diberhentikan secara paksa. Hampir separuh jalan dikuasai pengantar dengan maksud menyegerakan jenasah tiba di liang kubur.
Tak sampai di situ. Jika ada pengguna jalan coba-coba merangsek masuk jalurnya, maka gerombolan pengantar jenasah biasanya tak segan-segan menghalau pengendara mobil atau sepeda motor dengan kayu/tongkat yang dibawanya. Seolah-olah jalan ini hanya miliknya, padahal jenazah yang mau diantar tidak mengharapkan diantar secara ugal-ugalan mengganggu pengguna jalan yang lain. Lain cerita apabila di atas mobil ambulance tersebut orang sakit parah, korban tabrak lari, luka tusukan pisau hingga ibu-ibu yang segera melahirkan disebabkan pecah air ketuban, sewajibnya didahulukan tanpa harus ugal-ugalan di jalanan.
Parahnya lagi, iring-iringan tadi tak segan-segan berteriak-teriak, "Mingir-minggir!" bak Tarzan turun gunung sambil membunyikan klakson berkali-kali hingga memekakkan telinga pengendara umum lainnya. Tak ayal menimbulkan kebisingan hingga terjadi kericuhan. Acapkali ada orang meninggal, konvoi iring-iringan jenasah selalu menghadirkan kerusuhan, mau tak mau pengguna jalan yang merasa waras harus minggir untuk menghindari masalah.
Tentu sifat brutal bukan budaya warisan nenek moyang kita mengajarkan kekacauan kepada pihak yang berduka. Simpati boleh, asal tidak mengganggu ketertiban umum. Manusia sebagai makhluk sosial tentu memilki rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, mustahil hidup sendiri, sebaliknya saling tolong menolong, saling menghargai satu sama lain tanpa keributan. Anarkisme para mengantar jenasah, aksi sok jagoan ini jangan sampai kembali terulang di Kota Makassar tercinta ini, bahkan kota lain. Kasihan keluarga yang berduka.
Harus dipahami bersama bahwa mengantar jenazah adalah bagian dari ibadah. Paling tidak pengantar/iring-iringan bisa mengerti kalau setiap manusia akan mengalami kematian sehingga beramal kebajikan menjadi pilihan kesuksesan dunia akhirat. Padahal keluarga jenazah yang mau diantar tidak mengharapkan ada konvoi secara ugal-ugalan sehingga memicu keresahan pengguna jalan raya. Jangan sampai sang pengantar jenasah turut terkubur, itu sama saja cari mati, sadarlah!
Makassar, 19 April 2017