Tepat pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), dunia pendidikan geger oleh tragedi berdarah. Seorang mahasiswa diduga telah menghabisi Dosen UMSU Nurain Lubis dengan menggorok leher dan menebas tangan hingga tewas, Senin (2/5/2016). Pelaku yang kemudian diketahui identitasnya bernama Roymando Sah Siregar. Motif berdarah tersebut dampak dari kekecewaan pelaku sehingga nekat menghabisi nyawa Nuraini. Dari berbagai media yang saya baca RS dendam lantaran diberi nilai jelek. Diakui atau tidak terbunuhnya dosen ditangan muridnya menandakan karakteristik sikap tidak terpelajar dari pelajar/mahasiswa.
Berdasar informasi berbagai media cetak maupun online peristiwa pembunuhan terjadi di depan kamar mandi Gedung B kampus UMSU berlokasi di jalan Mukhtar Basri, Kecamatan Medan Timur Kota Medan ketika hendak mengambil air wudhu. Fenomena luar biasa ini menandakan humanisme hanya ungkapan belaka, manis di bibir saja sedangkan hati manusia siapa yang tahu?, dengan segala dendam membara tega menghabisi sang dosen, sebagaimana kita ketahui bersama dosen adalah jembatan penghubung terciptanya proses belajar mengajar yang efektif dan efisien (produktif) baik aspek sarana prasarana, kurikulum, maupun peningkatan kualitas SDM kampus.
Konon keduanya terlibat perbincangan serius, menurut informasi yang beredar terkait skripsi hingga ketidak puasan pelaku terhadap dosen karena mendapat nilai buruk. Diduga tersinggung dengan Nur Ain (dosen), pelaku menunggui korban di kamar mandi, setelah melihat sosok keluar berniat ambil air wudu, dengan sigap pelaku menggorok leher dan menebas tangan korban. Atas aksi biadab ini tentu banyak hikmah bisa kita petik, gunakan akal waras sebelum bertindak.
Ada anggapan dosen killer. Tapi, ada juga mahasiswa bengal. Apabila dosen yang dimaksud benar-benar killer dapat dilaporkan ke Otoritas Perguruan Tinggi dan (kalau kampusnya terakreditasi A atau B) pasti akan dibimbing secara obyektif. Mahasiswa killer? Menciderai nama baik mahasiswa yang tidak tahu apa-apa, oknum mahasiswa UMSU seperti sampah masyarakat, mengambil nyawa karena ditegur dan dikenakan sanksi indisipliner. Bukan karena dosennya yang killer. Mari lihat kasusnya satu per satu, tidak bisa di generalisasi. Sekalipun itu bergelar dosen killer apakah layak dibantai? mungkin mahasiswa tersebut frustasi jika berhadapan dengan sang dosen, apapun alasannya dia tidak berhak mencabut nyawa sang dosen. Profesi dosen itu pengabdian, hanya sedikit dosen yang peduli pada mahasiswa, selebihnya peduli pada dirinya sendiri, sebaliknya mahasiswa pun sama.
Mungkin peristiwa ini tidak akan terjadi apabila yang muda menghormati yang lebih tua, yang tua juga menyayangi yang lebih muda, adaptasi dua arah memang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan, nilai saja tidak cukup untuk menilai perilaku mahasiswa maupun dosen, perlu pendekatan persuasif. Jangan sampai kejadian tersebut terulang dimasa akan datang.
Amarah timbul akibat perasaan yang tersakiti sudah terjadi terlalu sering pada setiap orang. Hal tersebut sangat manusiawi. Bahkan orang sabar pun bisa merasakan marah dan emosi ketika sudah tidak mamapu memertahankan. Emosi yang memuncak dan tmeledak-ledak akan menutupi akal sehat manusia, sehingga akan membuat seseorang secara tidak sadar melakukan hal-hal diluar nalar hingga tega membantai lawan bicara. Hanya gara-gara sepenggal kata-kata yang menyakitkan, sebuah harmonisasi hubungan dosen dan mahasiswa berujung maut.
Pendekatan individu dengan hati nurani membantu individu untuk menguasai emosional, pengetahuan dan sikap sebagai pelajar pun sirna dalam sekejab. Tidak jarang hubungan antara dosen dengan mahasiswa memiliki celah. Sehingga mereka tampak kaku. Padahal hubungan yang baik antara dosen dan mahasiswa bisa meningkatkan kualitas perkuliahan.
Seorang dosen ketika akan mengajar mahasiswa harus mempersiapkan diri dengan baik sebelum mengajar sehingga mahasiswa merindukan dosennya. Ini merupakan wujud seorang dosen menghargai diri sendiri dan menghargai mahasiswa. Dosen juga perlu mempertimbangkan penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. Tidak lupa saya turut berduka cita atas berpulangnya Hj. Nur’ain Lubis dosen UMSU. Semoga amal ibadah beliau diterima Alloh SWT dan diampuni segala dosanya, sedang keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Amin.....
Upaya untuk mendapatkan sosok dosen memiliki kapasitas yang dipersyaratkan sebenarnya dapat ditempuh dengan melakukan terobosan pada proses rekrutmen. Dengan demikian, secara akademik dan empirik calon-calon dosen sudah memiliki potensi yang menunjang kapabelitasnya. Kondisi tersebut dan dukungan kebijakan pengembangan SDM yang terencana dan sistematis akan berimplikasi pada terbentuknya profil dosen yang kapabel, kompeten, dan profesional. Dengan demikian, dosen/pengajar akan menjadi satu profesi yang semakin membanggakan. Kebijakan tersebut juga berimplikasi meningkatkan marwah profesi akademis.
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang harus dimiliki dosen mengenai tingkah laku mahasiswa yang menyimpang dijadikan pelajaran bagi mahasiswa lain agar dalam menyelesaikan masalah gunakan otak bukan otot, seperti pepatah “hati boleh panas tetapi kepala tetap dingin”.
Mengutip kalimat Linda seorang Aktivis Sentra Advokasi untuk Hak Pendidikan Rakyat (SadaR) Kota Medan “sudah saatnya pendidikan indonesia berbenah. Pendidikan karakter dan pendidikan agama sudah seharusnya diajarkan berimbang”. “Terlalu dangkal memang jika menilai pendidikan dari hasil muatannya saja. Proses pendidikan itulah yang lebih penting”.