Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Unjuk Rasa Konvensional Vs "Online" Berlangsung Anarkis

6 November 2017   06:58 Diperbarui: 6 November 2017   08:44 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unjuk Rasa "Rebutan Lahan" Berlangsung Anarkis (sumber gambar: http://makassar.tribunnews.com)

Keadaan kian mengerikan, sadis dan tidak masuk akal. Anarkistis menajdi soluis "rebutan lahan" antara transportasi onlie melawan transportasi konvensional kembali menggelora. Ratusan sopir taksi, pete-pete (angkot) penarik becak motor (bentor) berlangsung anarkis, mereka terlibat aksi saling dorong di depan kantor Gubernur Sulawesi Selatan Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, Rabu (1/11/2017).

Bagai penyakit kronis tak bisa disembuhkan, mereka saling serang dibeberapa titik jalan arteri sehingga menimbulkan kemacetan panjang. Para pendemo juga tak segan-segan melakukan penurunan paksa terhadap penumpang angkutan umum, becak dan juga taksi konvesional untuk mengajak pengemudinya melakukan aksi "solidaritas".

Aksi gabungan para sopir ini, juga tak segan mengganggu kepentingan umum, mereka menyampaikan tuntutan penghentian layanan transportasi berbasis online dan pemberlakuan peraturan Menteri Perhubungan No 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Sementara penyelenggara negara berdiam diri dibalik tebalnya tembok gedung kantor sembari memantau jalannya aksi unjuk rasa.

Di Makassar sendiri jumlah angkutan umum (pete-pete) nyaris tak terhitung jumlahnya. Sederhana sebabnya, mempertahankan asap dapur tetap mengebul dan bayar tunggakan hutang. Orang-orang miskin seperti dinobatkan sebagai "Manusia Hina" lantara tak mampu menjaga ketertiban dunia. Sebaliknya kehidupan orang kaya bergelimang harta benda, tanpa harus melakukan aksi unjuk rasa, setoran akan datang dengan sendrinya. Sebuah kenikmatan diatas penderitaan orang miskin, tentu hal ini tak pernah dirasakan pendemo. Jadi wajar saja mereka lebih mengandalkan otot ketimbang otaknya untuk menuntuk sesuatu yang selalu dijanjikan pemegang kebijakan.

Inikah wajah kota Makassar yang konon digembar-gemborkan MENUJU KOTA DUNIA, dari mana kemana kota dunianya. Warganya saja tidak mampu menjaga ketertiban dunia. Jika benar demikian adanya "Sakitnya tuh disini"

Jangan hanya wacana menjadikan Makassar menuju kota dunia, tak tahunya segala sesuatunya harus diselesaikan dengan cara brutal. Pertanyaannya, apakah dibalik kerusuhan ini ada unsur politik yang memang di politisir orang-orang atau kelompok tertentu untuk mengguligkan sang rival?.

Makassar, 06 November 2017

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun