Nampaknya ada kekhawatiran di raut wajah calon petahana Joko Widodo (Jokowi). Kandidat petahan ini tidak ingin nasibnya sama dengan Hillary Clinton yang menanggung kekalahan. Pasalnya, Hillary yang selalu unggul hampir disemua lembaga survei harus dengan ikhlas menerima kekalahan dari Donald Trump.
Jokowi yang selama ini dikenal dengan pribadi yang santun perlahan tampil dengan pernyataaan-pernyataan 'manusiawinya' yakni memainkan emosi di hadapan publik. Mungkin, ini adalah poin yang Jokowi tangkap dari kekalahan Hillary, di mana Hillary digambarkan sebagai great president dan banyak orang yang memujinya. Namun sayang, Hillary tidak mampu menyentuh unsur emosi penduduk negeri Paman Sam.
Di lain sisi, sosok Trump yang secara personal penuh kontroversi justru dianggap sebagai great candidate hingga pada akhirnya lahir sebagai pemenang. Kepercayaan diri Hillary serta pendukungnya yang tengah di atas angin karena semua lembaga survei mengunggulkan Hillary  kandas setelah Trump yang akhirnya memenangkan Pemilu. Suka tidak suka, Trump menjadi presidennya.
Nah, hal inilah yang akhirnya dikhawatirkan oleh Jokowi, sampai-sampai ia meminta pada relawannya untuk mewaspadai kondisi yang dialami Hillary. Kalau ditengok nih, keadaannya hampir sama, beberapa hasil survei pun memenangkan pasangan calon Jokowi-Ma'ruf Amin dari lawannya Prabowo-Sandi, bahkan disebut bisa menang telak pada pemilihan nanti. Eits, kalau dewi fortuna berkata lain?
Karena itulah Jokowi seperti menyadari hal tersebut sehingga sudah memiliki strrategi tersendiri. Kalian sadar tidak, belakangan Jokowi sudah mulai memainkan emosinya, ia tak segan lagi untuk melihatkan rasa kesal ataupun amarah di hadapan publik.
Gaya kampanye nyapun kini berbeda, jika pada Pemilu 2014 lalu ia lebih sopan dengan kebijakan program Nawa Cita, poros maritim, tol laut, sampai pemberantasan kasus HAM. Kini berbeda gaya, kampanye Jokowi berisi tentang sontoloyo, genderuwo, sampai aksi tabok.
Walaupun Jokowi sedang memainkan strategi untuk menarik emosi tapi jangan sampai lupa pak bahwa Indonesia tetap membutuhkan great president bukan hanya great candidate. Setuju? Selengkapnya dalam tulisan indepth berjudul "Jokowi Trauma Hillary Clinton" di Pinterpolitik.com