Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nukilan Homo Sapiens: Dua Satu Maret

21 Maret 2023   22:14 Diperbarui: 21 Maret 2023   22:33 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Integrity without knowledge is weak and useless, 

 knowledge without integrity is dangerous and dreadful

(Bahasa Inggris)

Harian Kompas, Selasa (21/3/2023), dalam laporan politik dan hukum menurunkan berita berjudul "Integritas Hakim Tak Tergantung Aturan". Berdasarkan  pendapat beberapa orang yang  hadir dalam acara Puncak Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-70 Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) yang disiarkan secara daring, Senin (20/3/2023),  laporan itu menyimpulkan bahwa  integritas hakim tidak tergantung pada peraturan perundang-undangan. 

Terlebih, aturan yang ada saat ini dinilai sudah cukup membentengi hakim dari perbuatan tercela hingga memperkuat integritas hakim. Jika aturan baru tetap dibuat, justru berpotensi memunculkan celah manipulasi. "Jadi, sebaiknya kita berhenti membuat aturan yang menyangkut penataan Mahkamah Agung dan pembinaan hakim," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hkum dan Keamanan Mahfud MD.  

Penyusunan aturan baru justru dinilainya dapat membuka celah manipulasi. Misalnya, terdapat sejumlah pasal yang kemudian digunakan hakim untuk memenangkan salah satu pihak dalam suatu kasus meski sebenarnya pihak tersebut salah. Bisa juga pasal-pasal baru dijadikan dasar bagi pihak-pihak di persidangan untuk memperkuat argumen dan pembuktiannya. Saat adu argumen tersebut terjadi antar-pihak, terbuka potensi "jual beli" di persidangan jika moral dan integritas lemah.

Sudah jamak terjadi dalam masyarakat bahwa keputusan hakim atas suatu perkara masih dominan didasarkan pasal-pasal "tak bernyawa" dari sebuah logika tata hukum yang berlaku. 

Dalam hal ini, hakim sepertinya hanya mementingkan rasionaliasi legal-formal, tetapi tidak melihat persoalan hukum dengan kacamata rasionalitas, yaitu kesadaran untuk menghayati hidup dalam dalam alam pikir dan timbang diri yang dipijakkan pada kejernihan akal budi dan hati nurani. Artinya, hakim  yang bagus, berintegritas, bisa mempertemukan akal sehat publik kemudian hati nurani dan pasal-pasal hukum yang resmi.  

Integritas tidak menjadi satu-satunya yang diperlukan seorang hakim dalam menangani perkara, tetapi kapasitas kemampuan intelektual atau  harus memiliki kesalehan akademik. Samuel Johnson berkata, "Integritas tanpa pengetahuan itu lemah dan tidak berguna, dan pengetahuan tanpa integritas itu berbahaya dan mengerikan".

Integritas adalah apa yang dikatakan sama dengan apa yang dilakukan. Kita bisa dikatakan memiliki integritas ketika kita memiliki ketulusan, tidak ada perbedaan antara "siapa kita ketika dilihat orang" dengan "siapa kita ketika tidak ada satu pun orang yang melihat". Santo Paulus dalam suratnya kepada Titus mengatakan, ".... dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita," (Titus 2:7-8)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun