Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mari Membangun Habitus Ekologis

12 Juli 2020   15:37 Diperbarui: 12 Juli 2020   15:27 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tindakan" konfliktual pascabencana hidrometeorologi itu secara afirmatif menjelaskan bahwa telah terjadi krisis ekologis atau lingkungan hidup pada bumi kehidupan manusia. Ternyata, krisis ekologis itu bukanlah suatu proses bumi yang alami, tetapi akibat kegiatan manusia yang cenderung egois dan rakus. 

Manusia modern telah berubah menjadi lebih individualis karena dengan kemampuan teknologis, segelintir manusia mengolah isi bumi bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, tetapi dirampok untuk secepatnya menghasilkan kekayaan dan kekuasaan.

Paus Fransiskus, dalam Ensiklik 'Laudato Si' (24 Mei 2015), menyatakan bahwa bumi adalah rumah kita bersama, seperti seorang saudari yang dengannya kita berbagi hidup dan seperti seorang ibu yang menyuap dan mengasuh kita, serta menumbuhkan aneka ragam buah,  bunga warna-warni, dan rumput-rumputan. Namun, saudari dan ibu kita ini sekarang menjerit karena kerusakan yang telah kita timpakan kepadanya. Kita masih saja berpikir bahwa kita adalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan  hati manusia inilah yang menyebabkan tanah, air, udara, dan semua makhluk hidup menderita "sakit".

Sejalan dengan Laudato Si', Yuval Noah Harari, dalam bukunya Homo Deus (2018), mengungkapkan bahwa proyek utama agenda kemanusiaan saat ini adalah melindungi populasi manusia dan planet secara keseluruhan dari bahaya-bahaya yang melekat pada kekuatan-kekuatan kita sendiri. 

Memang kita telah berhasil mengendalikan kelaparan, wabah, dan perang terutama berkat pertumbuhan ekonomi yang fenomenal. Namun, pertumbuhan yang sama ini mendestabilkan keseimbangan ekologis planet dengan cara yang dahsyat. Manusia terlambat menyadari bahaya ini dan sejauh ini melakukan terlalu sedikit upaya terkait hal itu. Meskipun ada pembicaraan tentang polusi, pemanasan global, dan perubahan iklim, sebagian besar negara  masih belum melakukan "pengorbanan" ekonomi atau politik untuk memperbaiki situasi.

Kekuatan-kekuatan ilmu pengetahuan manusia, yang "terbaca" dalam gaya pertanian, peternakan, pertambangan, produksi, pasar, dan konsumsi umat manusia saat ini, sangat mengikis kekayaan bumi dan merusak keutuhan alam ciptaan sehingga mengancam kehidupan di planet ini. 

Pertama, ancaman polusi dan perubahan iklim. Sampah rumah tangga, industri, pembasmi hama, dan pupuk kimia terus meracuni tanah dan perairan. Limbah itu membawa penyakit dan kematian bagi tanaman, serangga, burung, ikan, dan makhluk hidup lainnya, termasuk manusia yang mengonsumsi semua itu.

Sementara itu, polusi yang tak kasat mata "gas rumah kaca" (karbon dioksida CO2) secara berlebihan memasuki atmosfir dan laut. Penggunaan secara masal bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, gas alam) dan deforestasi (penebangan dan pembakaran hutan) mempercepat proses merusaknya lapisan ozon. Karena lapisan ozon rusak, radiasi matahari dengan leluasa masuk ke permukaan bumi dan menaikkan suhu bumi. Akibatnya, musim-musim bertambah panas, cuaca yang semakin ekstrem, dan perubahan iklim yang berpotensi menggelindingkan bencana-bencana alam yang dahsyat.

Kedua, ancaman masalah air tawar yang bersih bagi kehidupan manusia. Kebutuhan utama segala makhluk hidup adalah air tawar. Dari banyaknya air di bumi ini, hanya 2,5% adalah air tawar. Namun, air tawar yang bersih itu menjadi semakin langkah dan tidak merata distribusinya di bumi. Banyak manusia tidak mempunyai akses yang besar pada air tawar bersih; bahkan di beberapa daerah tidak ada lagi air tawar yang cukup untuk rumah tangga, pertanian, peternakan, dan industri. Hal ini diperparah oleh pembiaran para konglomerat menguasai sumber-sumber air rakyat, mengemasnya,  dan menjual air itu kepada rakyat itu sendiri. Memang ironis.

Ketiga, ancaman hilangnya keanekaragaman hayati. Deforestasi, secara langsung atau tidak langsung, mengakibatkan hilangnya berbagai spesies makhluk hidup yang sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan, kesehatan, dan rantai nutrisi dalam ekosistem bumi ini. Naiknya suhu laut mampu mematikan alga dan terumbu karang; pencemaran air mengancam cadangan ikan sebagai sumber protein; rusaknya hutan memusnahkan jamur, lumut, cacing, dan serangga yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Keempat, ancaman kemerosotan kehidupan manusia. Model pengelolaan isi bumi yang demikian menghasilkan kemerosotan ekososial sebagaimana tampak dalam situasi orang hidup berdesak-desakkan di kota tanpa lingkungan alam yang menyehatkan.  Tempat hunian dan rekreasi yang hijau hanya bagi mereka yang mampu membayar sehingga mengucilkan banyak orang dari "panorama" kualitas hidup yang diharapkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun