Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Koreksi IHSG, Saatnya “Buy on Dip”???

24 Januari 2011   06:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:14 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (IDX) telah mengalami koreksi sekitar 10% dari titik tingginya (per 21 Januari di 3379, dibandingkan dengan 3786 pada 9 Desember 2010). Mulai muncul pertanyaannya: apakah ini saat yang tepat untuk membeli saham/reksadana untuk menurunkan rata-rata harga investasi (melakukan dollar average cost)?

Taktik ini juga dikenal sebagai "buy on dip", membeli saat terjadi koreksi signifikan.

Apalagi mengingat strategi "buy on dip" pada masa bullish 2003-2007 ( beberapa koreksi signifikan pada periode ini adalah [besaran koreksi]: April-Juni 2004 [18%], Maret-April 2005 [12%], Agustus-September 2005 [17%], May-Juni 2006 [20%], dan Juli-Agustus 2007 [20%]) memang berhasil memberikan keuntungan luar biasa kepada investor. Bahkan koreksi besar pada tahun 2008 (Januari-Oktober 2008 [61%]) saat ini dapat dilihat sebagai "buy on dip" dalam skala ekstrim yang juga sangat berhasil. Periode 2009 -2010 juga banyak memberikan peluang "buy on dip" seperti Juni 2009 (koreksi 9%) dan Mei 2010 (koreksi 15%).

Logika "buy on dip" cukup sederhana: koreksi harga telah membuat valuasi saham menjadi murah sehingga menurunkan resiko dan meningkatkan potensi return.

Tapi perlu hati-hati dalam menilai setiap koreksi harga bisa membuat valuasi menjadi murah. Bisa saja sebenarnya harga saham telah mengalami rally yang sangat luar biasa dan jauh melebihi perkembangan fundamental perusahaan pada periode sebelumnya. Sehingga koreksi harga hanya menjadi 'penyesuaian' terhadap kondisi fundamental saham dan secara valuasi historis harga saham tetap mahal.

Sebagai contoh diambil saham Astra Internasional (ASII). Valuasi secara sederhana menggunakan Price Earning Ratio (PER), yaitu dari rasio harga (Price) terhadap Laba Per Saham (Earning Per Share).

Pada akhir tahun 2005, ASII memiliki harga 10,200 dengan EPS = Rp 1,348, atau PER sekitar 7.6X. Suatu valuasi yang sangat menarik, mengingat ASII adalah perusahaan yang sangat bagus.

Pada akhir tahun 2010, ASII memiliki harga 54,450 dengan EPS (perkiraan) = Rp 3,236, atau PER sekitar 16.8X.

Artinya dalam periode 2006-2010, fundamental ASII naik 2.4 kali (EPS2010/EPS2055, 3236/1348), sedangkan harganya naik 5.3 kali (54450/10200). Jelas pada periode itu harga naik lebih cepat daripada fundamental.

Ini tidak berarti harga ASII sudah pasti kemahalan. Bisa saja harga akhir 2005 yang kemurahan. Tapi titik 2005 tetap bisa menjadi titik ideal pembanding dengan alasan: 2005 kinerja IHSG tidak luar biasa (naik 16%) dan harga ASII juga hanya naik 6%. Tahun 2005 juga dalam masa pemulihan dan trend bullish, 2003-2007 sehingga optimism investor belum berlebihan.

Sepanjang 2006-2010, PER saham ASII berkisar antara 6X - 18X, dan pada saat ini sekitar 14X (harga di 47150).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun