Selama 166 tahun, kita menciptakan jurang pemisah. "Saya gembala, tinggal di pastoran. Kamu umat. Tinggal di gubukmu." Bahkan kita tidak mau membawa Yesus masuk ke dalam rumah hidup orang Papua. Yesus sebatas ibadah di dalam gedung gereja. Yesus juga sebatas di pintu rumah kawanan domba orang Papua.
Kini dan ke depan, Gembala mesti datang, masuk dan tinggal bersama kawanan domba orang Papua. Gembala menjadi bagian integral hidup kawanan domba. Sekat-sekat pembatas antara Gembala dan kawanan domba harus dibongkar. Doktrin-doktrin kaku dan mematikan daya gerak Roh Kudus untuk pembaruan kehidupan menggereja konteks Papua harus ditanggalkan.Â
Seturut kondisi sosial, politik dan lingkungan hidup Papua, Gembala mesti menjadi contoh terdepan dalam hal keberpihakan. Gereja, melalui pimpinannya, Uskup, Pastor, Pendeta, harus menolak segala bentuk kekerasan, intimidasi dan pelanggaran HAM orang Papua, yang adalah warga Gereja. Pimpinan Gereja, dengan alasan apapun hendaknya tidak tunduk, apa lagi bekerjasama dengan negara dan perusahaan-perusahaan untuk meredusir martabat hidup dan masa depan orang Papua dan hutan alamnya.
Gereja di Papua perlu bergerak, keluar menjadi Gereja Papua. Sebuah komunitas hidup beriman yang melebur, menyatu dengan sukacita dan dukacita orang Papua. Gereja Papua harus tumbuh di atas dasar budaya orang Papua, bukan dari luar Papua.
Kita menyadari bahwa tidak mudah melintasi Papua, apa lagi mendirikan Gereja Papua. Selalu ada dikotomi di dalam tubuh Gereja: orang asli versus pendatang; dogma versus konteks; teologi versus kondisi sosial budaya. Dalam situasi ini, setiap pribadi, yang menamakan diri anggota komunitas Gereja, baik para Gembala tertahbis maupun kawanan domba perlu memikirkan pendekatan dan cara baru kehidupan menggereja konteks Papua. Gembala perlu kembali ke kandang. Ruang-ruang dialog antara Gembala dan domba-domba perlu dibuka seluas-luasnya. Di dalam kandang itu, dalam percakapan-percakapan itulah Gembala dan kawanan domba bersama-sama memikirkan fondasi dan tiang rumah Gereja Papua, tempat orang Papua berteduh dari terik matahari, hujan dan angin yang datang menghantam silih berganti.
Siapa menjadi fondasi Gereja Papua? Siapa saja unsur pembentuk tiang-tiang rumah Gereja Papua? Model Gereja Papua seperti siapa yang hendak dibangun? Â Kita masing-masing dapat merefleksikannya secara pribadi. Dan, kita membawa catatan refleksi kita tentang Gereja Papua itu ke tengah-tengah kawanan domba, ke kandang tempat kita tinggal bersama untuk mendiskusikannya lebih lanjut. Di sana pula, kita membangun komitmen-komitmen bersama untuk membangun Gereja Papua, sesuai konteks sosial, budaya, politik dan kondisi lingkungan hidup Papua. Amin.
Abepura, 05-02-2021; 10.00 WIT
Selamat merayakan hari Pekabaran Injil ke-166