Meskipun  sudah 66 tahun (1953-2019) orang Asmat telah berjumpa dengan peradaban baru dari luar, terutama pendidikan, tetapi sampai saat ini pendidikan belum berakar kuat. Apa indikatornya? Kita dapat menyaksikan di kampung-kampung di Agats, tetapi juga di pelosok Asmat. Banyak anak usia sekolah tidak mengenyam pendidikan dasar.Â
Anak-anak sibuk mencari burung di hutan atau menjaring udang di tepi sungai. Sebagian anak lainnya menjaga adik mereka di rumah lantaran orang tua mereka pergi mengambil makanan di dusun.
"Pastor Barat punya pendekatan berbeda dengan Pastor sekarang. Dulu Pastor sangat dekat dengan masyarakat. Pastor kunjungi umat. Pastor datang ke rumah umat. Pastor cerita dengan kami punya orang tua. Lalu, Pastor akan kasih ingat kami punya orang tua supaya suruh kami anak-anak ke sekolah," kisah Abraham Yakairem.
Abraham mengambil kisah di Ewer. Kepala kampung Ewer kala itu, mewajibkan semua anak harus sekolah. Padahal, kepala kampung bukan orang yang bisa baca dan tulis. "Dulu kalau orang tua bawa anak ke dusun, kepala kampung Ewer hukum suruh pikul kayu besi sampai di ujung kampung pergi dan pulang. Waktu itu, semua anak di Ewer wajib sekolah," paparnya.
Abraham mengisahkan dirinya pernah mengajar di Atsj dan Ambisu. "Waktu saya selesai SPG Teruna Bakti, Pastor Grewe minta saya mengajar di Ewer, tapi saya minta kepada Pastor supaya saya mengajar di tempat lain. Akhirnya, saya mengajar di SD YPPK Santo Paulus Atsj. Di sana, saya mendidik anak-anak Asmat dengan sungguh-sungguh, " tuturnya.
Setelah pengangkatannya sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), ia pindah ke Ambisu. Di sana, ia bertugas selama 11 tahun. "Di Ambisu, saya mendidik anak-anak Asmat. Saya ajak mereka main bola. Kami ke dusun. Pokoknya, harus dekat dengan masyarakat," tuturnya.
"Sekarang, kalau pesta budaya, banyak anak-anak murid saya dari Ambisu, mereka datang salam saya sambil menangis terharu," tambahnya.
***
Ada dua pertanyaan mendasar, pertama, mengapa orang tua belum terlibat aktif dalam mendorong anak-anak pergi ke sekolah formal? Kedua, mengapa anak-anak Asmat tidak tertarik pergi ke sekolah formal? Pendekatan pendidikan manakah yang cocok dengan kondisi sosial, budaya dan geografis Asmat?
Orang tua memegang peran penting dalam kehidupan anak-anak. Dalam konteks Asmat, dusun merupakan kiblat kehidupan orang Asmat. Perhatian orang tua diarahkan ke dusun. Sebab, dusun menjanjikan hidup saat ini dan ke depan. Karena itu, anak-anak dibawa ke dusun merupakan pilihan orang tua untuk memastikan kelangsungan hidup anak-anak mereka.
Orang tua berpikir sederhana dan masuk akal. Di dusun, mereka mengajari anak-anak mencari makan, terutama mencari ikan dan menokok sagu. Selain itu, orang tua akan menceritakan batas-batas dusun sehingga anak-anak akan mengetahuinya. Bagi orang Asmat, sekolah sesungguhnya ada di dusun. Sebab, di sanalah anak-anak Asmat belajar mencari makan untuk hidup mereka.