Apakah Pembelajaran Coding Sudah Tamat?
Pernyataan CEO Nvidia, Jensen Huang, baru-baru ini mengguncang dunia pendidikan teknologi. Ia menyebutkan bahwa "koding tidak lagi perlu dipelajari oleh anak-anak," karena kecerdasan buatan kini sudah mampu menuliskan program sendiri. Hal ini mengundang perdebatan: apakah coding benar-benar sudah tamat? Dalam pandangan Huang, dunia sedang menuju era baru, yakni generative physical AI---kecerdasan buatan yang tidak hanya meniru pikiran manusia, tetapi juga mampu berinteraksi dan memahami dunia nyata. Coding, meskipun masih relevan, kini mulai diposisikan sebagai alat bantu bukan lagi keahlian utama yang harus dimiliki manusia dalam membangun teknologi. Maka pembelajaran coding bukan tamat, melainkan bergeser dari how to code menjadi how to think physically.
Ilmu Fisika sebagai Fondasi Masa Depan AI
Pergeseran fokus dari software ke real-world modeling membuat ilmu fisika kembali menjadi sorotan. Huang menyampaikan bahwa jika ia bisa memilih ulang jalur karier, ia akan mengambil fisika. Bagi dia, masa depan AI bukan hanya tentang data dan kode, tetapi pemahaman mendalam tentang realitas fisik. Pandangan ini sejalan dengan gagasan Albert Einstein yang menyatakan bahwa "Fisika adalah usaha untuk memahami hukum-hukum dasar alam semesta." Dalam konteks AI modern, fisika diperlukan untuk menciptakan sistem yang mampu memahami dunia dalam bentuk nyata---mewakili ruang, waktu, energi, hingga perilaku benda. Dalam teknologi seperti mobil otonom, robotika, hingga sistem prediktif cuaca berbasis AI, hukum fisika menjadi kerangka berpikir dan bertindak.
Peran Vital Ilmu Fisika dalam Adaptasi Teknologi
Kemajuan teknologi masa depan akan sangat tergantung pada kemampuan memahami dan memodelkan dunia fisik. Fisika memberikan bahasa yang paling fundamental untuk itu. Kemampuan seperti simulasi dinamika fluida, deteksi gerakan, pemrosesan sinyal, hingga pemanfaatan quantum computing, semuanya berakar dari fisika. Ketika dunia bergerak menuju digital twin dan AI-physical interaction, ilmu fisika menjadi tidak tergantikan. Kita tidak bisa membangun robot canggih atau sistem energi terbarukan tanpa pemahaman mekanika, termodinamika, hingga elektromagnetika.
Anomali Indonesia: Takut Fisika, Enggan Menjadi Produsen Teknologi
Sayangnya, di Indonesia, fisika justru menjadi mata pelajaran yang ditakuti dan dianggap sulit. Ini bukan hanya soal materi, tapi juga soal pendekatan pendidikan yang kerap menjadikan fisika sebagai hafalan rumus, bukan pemahaman konsep. Akibatnya, minat siswa untuk mengambil jurusan fisika di perguruan tinggi menurun drastis. Padahal, seperti dikatakan oleh Huang, masa depan AI dan teknologi membutuhkan pemahaman fisika. Ironisnya, Indonesia yang ingin mengejar ketertinggalan teknologi justru mengalami alergi kolektif terhadap ilmu yang paling fundamental dalam teknologi itu sendiri.
Apakah Indonesia Akan Tetap Menjadi Konsumen Teknologi?
Selama negara ini tidak berani berinvestasi dalam ilmu dasar seperti fisika, selama kita terus memposisikan teknologi sebagai produk jadi yang harus dibeli, bukan ilmu yang harus dikembangkan, maka Indonesia akan tetap menjadi konsumen. Negara-negara yang menjadi produsen teknologi seperti AS, Jepang, Korea, hingga Tiongkok, selalu menanamkan riset fisika sebagai tulang punggungnya. Tanpa pergeseran paradigma pendidikan dan penguatan riset, Indonesia akan terjebak pada mentalitas konsumtif dan ketergantungan.