Mohon tunggu...
Peradah Indonesia
Peradah Indonesia Mohon Tunggu... lainnya -

Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia [Indonesian Hindu Youth Association]. A non profit organization to promote Hindu youth empowerment for leadership and entrepreneurship. contact: infokom @peradah.org SMSCenter: 6281 3837 10000 follow us on Twitter @peradah website: www.peradah.org

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ambiguitas Pemaknaan Kemerdekaan Indonesia dalam Dimensi Kehidupan

11 Maret 2015   02:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:50 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Istilah “merdeka” mungkin sudah sering kali terdengar di telinga kita, dan mungkin pula sering kita pekikkan bersama. Pada hari peringatan kemerdekaan Indonesia, dalam banyak pidato di segala penjuru negeri yang kita cintai ini mulai dari di lingkungan sekolah bahkan universitas pun, sering kali kita “dituntun” untuk memekikkan kata “merdeka” tersebut. Kata “merdeka” ini menjadi sesuatu yang familiar di telinga kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun apakah makna dari kemerdekaan tersebut? Apakah terbebas dari penjajahan bangsa lain? Atau bahkan makna kemerdekaan tersebut adalah dapat melakukan apa saja sesuai kehendak kita?

Definisi kemerdekaan tiap orang mungkin saja dapat berbeda, namun secara general tentunya kemerdekaan memiliki suatu makna atau arti yang sama tapi tidak identik. Menurut Bung Karno, kemerdekaan adalah kebebasan untuk merdeka, yang maksudnya disini adalah setiap bangsa yang merdeka memiliki kebebasan untuk menentukan tujuan nasionalnya tanpa dihadang oleh intervensi atau campur tangan dari luar (pihak asing). Secara de facto dan de jure mungkin Negara Kesatuan Republik Indonesia secara sah dikatakan merdeka. Namun secara pemaknaannya,apakah bangsa Indonesia sudah benar-benar dapat dikatakan merdeka?

Kita semua tahu bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun setelah 69 tahun “kemerdekaan” tersebut diraih, masih banyak rakyat Indonesia yang terbelenggu “penjajahan secara terselubung” dalam berbagai bidang kehidupan (multidimensi). Kemiskinan merajalela dimana-mana, anak-anak negeri ini banyak “berserakan” di jalanan, dan kriminalitas terlihat di sudut-sudut jalanan negeri ini.

Pada jaman orde baru, mungkin pembangunan besar-besaran dilakukan di pelosok negeri kita ini. Presiden Soeharto sangat menggebu-gebu untuk melakukan pembangunan di seluruh pelosok negeri. Namun darimanakah uang pembangunan tersebut didapat? Tentunya yang kita ketahui bersama, uang pada jaman orde baru yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan infrastuktur didapat dari pinjaman luar negeri atau secara kasar dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia berhutang pada negara lain. Tentu saja hal ini sangatlah berlawanan terhadap poin kedua dari konsep Trisakti yang dicetuskan oleh Bung Karno yaitu berdikari dalam bidang ekonomi.

Mungkin di jaman orde baru tersebut sah-sah saja bila pemerintahan rezim Soeharto meminjam uang dari pihak asing, namun tentunya hal tersebut menjadi salah kaprah saat hal “pinjam-meminjam” uang asing tersebut menjadi candu dan pembangunan di negara kita ini menjadi ketergantungan terhadap uang dari pihak asing tersebut. Mungkin Soeharto memiliki niat yang luhur untuk melakukan pembangunan yang progresif di Indonesia, namun ia sudah melupakan konsep ekonomi kerakyatan dan konsep berdiri di atas kaki sendiri dalam bidang ekonomi.

Soeharto nampaknya sudah tidak percaya lagi dengan konsep “percaya pada kekuatan bangsa sendiri” di bidang ekonomi dan mungkin hal ini menjadi “kutukan” tersendiri untuk bangsa Indonesia. Setelah pemerintah Indonesia mulai “kecanduan” meminjam uang asing, mulailah pihak asing tersebut “menjajah” perekonomian negara Indonesia secara “terselubung”. Hal yang paling terlihat adalah penandatanganan kontrak dengan PT. Freeport oleh Presiden Soeharto. Hal ini lagi-lagi berlawanan terhadap sikap Bung Karno yang menolak kontrak Freeport pada rezim pemerintahannya.

Disinilah “drama” penghisapan kekayaan sumber daya alam di Papua pada rezim pemerintahan Soeharto sampai sekarang ini berlangsung. Mulai dari emas sampai uranium diambil secara perlahan-lahan oleh Freeport, dan tanpa kita sadari dalam beberapa tahun mendatang tanah Papua hanya akan “disisakan” bongkahan-bongkahan tanah kosong. Pekerja Indonesia maupun asing yang bekerja di Freeport mungkin dapat hidup dengan makmur (baca: mendapat gaji besar). Namun apakah masyarakat asli Papua yang tinggal di sekitar pabrik Freeport tersebut diperhatikan kemakmurannya? Apakah mereka dapat dikatakan menjadi tuan rumah di tanah kelahiran mereka sendiri? Tentunya tidak. Para masyarakat asli Papua tersebut hanya dijadikan “kuli” pabrik yang bergaji rendah. Tanah Papua dikuras habis, kemakmuran masyarakatnya pun dikuras habis pula.

Perlahan-lahan ideologi Pancasila bangsa Indonesia juga perlahan-lahan dijajah (melalui ekonomi) oleh ideologi liberalisme. Dimana konsumerisme masyarakat kalangan menengah ke atas terhadap produk-produk impor dari negeri barat sana seakan-akan sudah menjadi budaya yang terinternalisasi saat ini. Produk-produk dalam negeri yang dicap sebagai “bukan produk gaul” pada saat ini jelaslah kalah saing di tanah sendiri dengan produk luar negeri. Disaat “mereka” para orang kaya dapat menikmati barang-barang mewah nan mahal, masih banyak masyarakat di pelosok negeri ini yang untuk makan saja notabenenya sudah sulit untuk dipenuhi untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk makan saja sulit apalagi membangun infrastruktur yang baik. Apakah ini yang disebut kesejahteraan sosial? Apakah ini yang disebut merdeka di atas tanah sendiri?

Bahkan kasus diskriminasi dan rasisme karena “perbedaan horizontal” masih sangat marak terjadi di Indonesia. Banyak terjadi tawuran antar clan atau suku, antar masyarakat desa, bahkan antar anak sekolah pun yang notabenenya “berpendidikan” pun masih kerap terjadi di atas tanah Indonesia ini.Apakah yang menyebabkan hal ini dapat terjadi? Hal ini terjadi akibat efek berkepanjangan dari politik “Devide et Impera” atau yang biasa disebut dengan politik adu domba. Politik adu domba adalah sebuah strategi yang digunakan oleh pemerintah penjajahan Belanda untuk kepentingan politik, militer dan ekonomi. Politik adu domba digunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruh penjajahan Belanda di Indonesia. Secara prinsip, praktik politik adu domba adalah memecah belah dengan saling membenturkan (mengadu domba) kelompok besar yang dianggap memiliki pengaruh dan kekuatan. Tujuannya adalah agar kekuatan tersebut terpecah-belah menjadi kelompok-kelompok kecil yang tak berdaya. Dengan demikian kelompok-kelompok kecil tersebut dengan mudah dilumpuhkan dan dikuasai.

Apa hubungan dari perpecahan yang terjadi di Indonesia dengan politik adu domba ini? Sejak jaman kolonial belanda, pemerintah kolonial Belanda kerap kali mengadu domba rakyat Indonesia. Salah satu bentuk peristiwa konkret politik adu domba yang dilaksanakan sejak jaman kolonial Belanda dan berdampak sampai saat ini adalah perpecahan antara masyarakat Indonesia asli (pribumi) dengan masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa. Di Indonesia (Jakarta khususnya) sangat terasa sekali kesenjangan sosial maupun ekonomi yang terjadi antara masyarakat Indonesia asli (pribumi) dan masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa. Tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak masyarakat dari dua golongan etnis ini yang membentengi diri terhadap satu sama lain, tidak mau saling bergaul dan berbaur. Di lingkungan sekolah pun kerap terjadi diskriminasi etnis tersebut dan kejadian tersebut saya alami sendiri pada saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun apakah ada yang bisa disalahkan terhadap situasi seperti ini? Saya rasa tidak. Karena perpecahan yang terjadi sampai saat ini adalah sebagian kecil ekses dari politik adu domba yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu. Lalu, apakah yang terjadi saat itu? Mengapa dampaknya bisa terinternalisasi kepada individu-individu masyarakat sampai saat ini?

Konon pada jaman pemerintahan kolonial Belanda dulu, para pedagang beretnis Tionghoa memegang peranan vital bagi perekonomian di daerah Batavia. Pemerintah kolonial Belanda yang berusaha untuk memonopoli perdagangan pun terganggu aktivitasnya akibat adanya pedangang keturunan Tionghoa ini. Kemudian pemerintah kolonial Belanda pun mulai merasa khawatir bahwa keberadaan pedagang keturunan Tionghoa ini dapat mengganggu proses “penjajahan” pemerintah kolonial Belanda di Batavia ini, mereka takut pedagang keturunan Tionghoa ini akan bersatu dengan pribumi untuk menjatuhkan pemerintah kolonial Belanda. Pedagang Tionghoa pada saat itu sangat membantu dinamika perdagangan Indonesia menuju arah yang positif, mereka menjadi penyokong perdagangan masyarakat asli Indonesia (pribumi).

Lalu tercetuslah ide politik Devide et Impera ini dan berhasil diterapkan dengan cara “memindahkan” para kuli dari Indonesia ke Afrika dengan maksud terselubung untuk membuang para kuli tersebut di laut, dan kemudian menyebarkan fitnah bahwa para pedagang Tionghoa lah yang mempunyai ide untuk melakukan “pembunuhan” tersebut dan tersebar luaslah fitnah tersebut. Kemudian terjadilah perpecahan, dan rasa dendam tersebut masih tertanam sampai sekarang karena banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui realita sejarah yang terjadi pada saat itu. Banyak masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa yang sering dikambing hitamkan sampai pada klimaksnya yaitu pada peristiwa kerusuhan pada bulan Mei tahun 1997. Banyak orang Indonesia keturunan Tionghoa yang dijarah rumahnya, dianiaya, sampai dibunuh dengan keji pada kerusuhan bulan Mei tahun 1997 tersebut. Di samping peristiwa ini masih banyak juga peristiwa perpecahan yang mendarah daging sampai saat ini, contoh lainnya yaitu peristiwa Sampit yaitu konflik antara suku Dayak dan suku Madura yang memakan ratusan jiwa. Konon peristiwa ini hanyalah berawal karena sebuah kesalahpahaman antar warga, sehingga ada banyak versi cerita yang beredar di masyarakat. Apakah ini yang disebut Persatuan Indonesia pada sila ketiga Pancasila? Apakah ini yang disebut kemerdekaan?

Ideologi Pancasila

Indonesia terdiri atas belasan ribu pulau, 34 provinsi, serta berbagai suku dan bahasa. Namun kita bangsa Indonesia dipersatukan oleh satu ideologi yang sama, ideologi Pancasila. Kita pun bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu.Bahkan pada sila ketiga ideologi Pancasila kita pun tertulis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut pandangan hidup:Persatuan Indonesia. Para pejuang yang telah gugur maupun yang masih hidup sampai sekarang, bersusah payah mengambil hak kemerdekaan bangsa kita dari berbagai penjajah yang datang. Mulai dari Portugis, Belanda, sampai dengan Jepang. Mereka dengan gigih berjuang, bersatu mengesampingkan berbagai perbedaan demi tujuan bersama untuk memerdekakan negara Indonesia kita yang tercinta ini. Namun mengapa disaat kita yang sekarang sudah hidup “enak” malah dengan mudahnya terintervensi pengaruh “asing”? Mengapa kita masih mempersoalkan hal-hal yang bersifat horizontal?

Bercerminlah pada sejarah, kawan. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku, ras, dan agama. Para pejuang kita bisa mengesampingkan segala perbedaannya untuk menggapai kemerdekaan yang diidam-idamkan. Mulai dari masyarakat Indonesia asli (pribumi) sampai dengan yang masyarakat Indonesiaketurunan. Tidak peduli dari tanah suku dan etnis mana mereka berasal, karena mereka tetaplah satu yaitu bangsa Indonesia. Namun apakah ditengah berbagai perpecahan yang terjadi di negeri ini, kita sebagai pemuda Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa? Apakah masih ada kesempatan bagi kita bangsa Indonesia untuk mewujudkan “kemerdekaan yang seutuhnya”? Tentu saja bisa! Kita sebagai agent of change harus berpikir kritis, membuka cakrawala berpikir kita mengenai permasalahan yang ada, mengkajinya terlebih dahulu suatu konflik horizontal maupun vertikal yang ada, dan jangan mudah “termakan” omongan dan desas-desus yang kebenarannya belum dapat dibuktikan.

Bila dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT, (Strength, Weakness, Opportunity, dan Thread) Indonesia tentu saja dapat mewujudkan suatu persatuan di Indonesia dan “kemerdekaan secara utuh” secara perlahan-lahan namun pasti. Dengan mengetahui apa yang harus dilakukan (strength), apa yang harus dibenahi (weakness), kesempatan atau peluang apa yang dapat diambil (opportunity), dan apakah yang menjadi kendala (thread) dalam mewujudkan persatuan Indonesia dan “kemerdekaan secara utuh”.

Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang kita ketahui bersama mempunyai ideologi Pancasila. Bila dilihat secara kasat mata, ideologi pancasila sangatlah “sempurna”. Mengapa? Apa yang membuat ideologi Pancasila istimewa dibandingkan dengan ideologi lain? Karena ideologi Pancasila dapat menggapai berbagai aspek kehidupan (lahiriah dan batiniah). Mulai dari segi religius (ketuhanan), kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, sampai dengan keadilan sosial. Bila kelima nilai tersebut diaplikasikan secara baik di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentu saja ini dapat menjadi kekuatan tersendiri bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan yang seutuhnya. Oleh karena itulah ideologi Pancasila ini dapat dikatakan sebagai kekuatan tersendiri yang dimiliki bangsa Indonesia.

Namun disamping kekuatan yang dimiliki, bangsa Indonesia pun memiliki kelemahan yang cukup vital yaitu adalah mudah terpengaruhnya bangsa Indonesia terhadap isu-isu yang belum dibuktikan kebenarannya dan ideologi Pancasila yang saat ini hanya sebatas “bacaan dan hafalan” semata. Pada tiap upacara bendera, Pancasila selalu dilafalkan oleh seluruh peserta upacara. Pada tiap ruang kelas di penjuru negeri ini, Pancasila selalu terpampang di bagian depan atas ruang kelas. Namun apakah pengimplementasiannya sudah dilakukan secara benar dan baik? Tentu saja belum.

Masih banyak sekali kasus-kasus yang berlawanan dengan kelima sila yang tercantum dalam Pancasila. Mulai dari maraknya bermunculan aliran sesat, bullying dan penganiayaan di lingkungan sekolah, tawuran antar suku dan etnis, kasus korupsi yang dilakukan oleh elit negeri ini, sampai dengan hukum di Indonesia yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ini adalah bukti-bukti konkret bahwa pengimplementasian nilai-nilai Pancasila belum terlaksana secara benar dan baik, sehingga banyak terjadi keretakan dimana-mana dalam berbagai dimensi kehidupan serta belum tercapainya “kemerdekaan secara utuh”.

Kemudian peluang apakah yang dapat diambil oleh bangsa Indonesia dalam mewujudkan persatuan Indonesia dan kemerdekaan secara utuh ini? Seperti yang telah kita ketahui bersama, Indonesia baru saja melantik presiden, wakil presiden, serta jajaran kabinet menteri-menterinya. Presiden kita, Joko Widodo seringkali menggembor-gemborkan jargon “revolusi mental”. Bila ditafsirkan secara harafiah, makna dari revolusi mental adalah melakukan perubahan yang mendasar (revolusi) kepada karakter (mental) bangsa Indonesia. Dapat kita lihat bersama melalui media-media, Presiden Joko Widodo kerap kali menunjukkan keingiannya untuk membenahi sistem pemerintahan di Indonesia menjadi bersih. Sebab pemerintahan NKRI yang “kotor” dan “marak kecurangan” (KKN) dimulai sejak era orde baru pemerintahan Presiden Soeharto. KKN tersebut dapat dirasakan diberbagai lingkungan masyarakat, dan dirasa KKN ini sudah menjadi “budaya” di negara Indonesia ini dan berlanjut terus dampaknya sampai sekarang ini.

Oleh karena itu, tugas kita untuk mengawal presiden Joko Widodo untuk merombak mental pemerintahan serta bangsa Indonesia menuju arah yang lebih baik, serta mencapai “kemerdekaan yang seutuhnya” melalui clean and good governance yang beliau coba untuk wujudkan sekarang ini. Peluang selanjutnya yang dapat diambil adalah membuat pandangan secara general di masyarakat bahwa SARA tidaklah penting. Karena kita adalah berbangsa satu, bangsa Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama unsur SARA ini masih menjadi hal yang “sensitif” di Indonesia. Peristiwa konkret yang terjadi adalah penolakan sejumlah pihak terhadap pelantikan gubernur DKI Jakarta yang baru, Basuki Tjahja Purnama atau yang akrab dipanggil Ahok.

Hal ini tentu saja disayangkan, karena kita dapat melihat secara jelas hasil-hasil kerja dan karakter Ahok selama menjadi wakil gubernur DKI Jakarta. Beliau adalah seorang pekerja keras, tidak takut mati demi konstitusi, serta orang yang sangat toleran. Salah satu peristiwa konkretnya adalah beliau berani menutup tempat hiburan malam “Stadium” yang notabenenya diketahui oleh warga Jakarta bahwa tempat tersebut memiliki banyak “backingan”. Mulai dari preman-preman pasar, tni, bahkan jenderal sekalipun. Beliau berani menutup tempat “maksiat” tersebut atas nama konstitusi dan kebenaran yang dianutnya. Ahok tidak peduli terhadap hal-hal yang berbau SARA, dia menuntun masyarakat untuk saling mentolerir satu sama lain dan mengkesampingkan hal-hal yang bersifat horizontal. Bila seseorang salah, apapun SARA yang dimilikinya akan “disikat habis” oleh beliau. Tentu saja hal ini haruslah kita dukung untuk mendukung revolusi mental dan mewujudkan kemerdekaan yang seutuhnya.

Dimana ada tujuan, disitu pastinya ada rintangan dan hambatan (ancaman) dari dalam maupun luar (thread). Salah satu contoh rintangan dari dalam negeri (internal) adalah masih banyaknya orang-orang di dalam negeri yang mencoba meretakkan persatuan negeri kita ini dan “memerdekakan” dirinya sendiri tanpa melihat kondisi orang lain dan merugikan bangsanya. Contoh dari peretak persatuan adalah banyaknya “fitnah-fitnah” yang bermunculan. Fitnah-fitnah ini kerap berhubungan dengan SARA yang notabenenya sangatlah sensitif di Indonesia. Masyarakat kerap kali mudah sekali terpengaruh pada suatu isu yang menyangkut masalah SARA ini. Inilah salah satu PR untuk pembenahan pandangan masyarakat kita untuk membuka cakrawala berpikirnya dan tidak menggunakan sudut pandang “kacamata kuda” untuk melihat suatu konflik yang “berbau” SARA. Kemudian contoh dari orang-orang yang mencoba “memerdekakan diri sendiri” dan merugikan bangsanya sendiri tentunya adalah para koruptor dan politikus kotor negeri ini. “Tikus-tikus” ini banyak berkeliaran di parlemen dan pemerintahan Indonesia. Mulai dari koalisi oposisis pemerintahan yang menghadang presiden demi kepentingan partai politiknya sampai dengan para koruptor yang banyak berasal dari kementrian-kementrian.

Namun disamping ancaan internal, negara Indonesia pun punya ancaman dari luar (eksternal). Salah satu contohnya adalah banyaknya intervensi asing terhadap perekonomian negara Indonesia, khususnya pada sektor-sektor vital yang dapat “mengganggu” kesejahteraan rakyat Indonesia. Contoh nyatanya adalah kita tahu bahwa sektor perminyakan di Indonesia “sebagian besar” sudah dikuasai asing dan masih banyak pihak-pihak asing yang menggoda untuk mengambil alih lebih banyak lagi bagian dari sektor perminyakan ini. Alasan-alasan terdahulu pemerintah Indonesia terhadap peristiwa ini adalah karena ketidakmumpuninya SDM yang dimiliki, serta ketidakmampuan pemerintah untuk membeli teknologi yang dapat menunjang pengolahan perminyakan tersebut. Padahal bila dilihat dari sudut pandang ekonomi, bila pemerintah berani untuk membeli teknologi yang “mahal” tersebut, maka akan sangat berguna sekali untuk pengolahan dan persediaan minyak di Indonesia untuk jangka panjang. Jadi Indonesia dapat secara mandiri mengolah minyak dan memasok minyak dari tanah sendiri, untuk rakyat sendiri.

Kita sebagai rakyat Indonesia harus mengawal dan mendukung upaya berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dengan tujuan menjadikan Indonesia menjadi lebih baik. Disamping mengawal dan mendukung upaya pemerintah, kita sebagai rakyat pun juga harus bisa berinisiatif untuk membantu memberikan solusi dan melakukan apa yang seyogyanya dilakukan. Bila tidak dilakukan mulai dari diri sendiri, persatuan bangsa dan kemerdekaan secara utuh pun akan sulit untuk diwujudkan. Oleh karena itulah marilah kita menanamkan nilai-nilai Pancasila secara mendarah daging (internalisasi) secara benar dan baik. Niscaya, bila tiap individu-individu di negara ini mulai sadar untuk melakukan apa yang seyogyanya dilakukan maka akan tercapai pula persatuan bangsa Indonesia dan kemerdekaan seutuhnya yang diidam-idamkan oleh bangsa Indonesia selama ini. Mulai dari hal-hal terkecil dalam kehidupan sehari-hari seperti contohnya yaitu menghargai dan menghormati perbedaan baik suku, agama, ras, serta anatomi dan juga antar golongan. Perlahan-lahan namun pasti, dan tetaplah percaya. Tetapi disamping memberikan kepercayaan, kita juga harus mengimbanginya dengan usaha.

Penulis: Putu Bagus Adiyatmika Putra| DI Yogyakarta

Prof.Dr.H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc, “Politik Adu Domba”, diakses dari http://irwan-prayitno.com/2013/02/politik-adu-domba/, pada tanggal 24 November 2014 pukul 0.18

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun