Wahai jurnalis muda... sekalinya kamu hanya mengangguk dan mengiyakan apapun yang diminta editormu tanpa kamu memberi umpan balik kepada editormu, siap-siap gantungkan penamu, ponselmu, alat perekammu, kemudian mulailah buka lembaran hidup barumu sebagai blogger atau vlogger saja!
Provokasi? Ya, provokasi, biar kamu paham. Bahwa, jika otakmu berisi dan penuh dengan informasi mutakhir, latar belakang peristiwa, sejarah masa lalu yang serupa dengan peristiwa terkini, referensi yang kamu punya, niscaya editormu akan segan kepadamu jika kamu memberinya umpan balik.
Dalam khasanah komunikasi umpan balik ini disebut "feed back" yang merupakan satu dari lima rukun wajib komunikasi; komunikator, pesan, komunikan, saluran, dan feedback. Ada yang memasukkan effect, coding, encoding, decoding dan seterusnya. Tetapi napas komunikasi di manapun kamu berada, ya lima itu.
Sayangnya, kamu tidak atau kurang memahami fungsi "feed back" saat membuka komunikasi dengan editormu atau siapapun atasanmu, sehingga kesannya kamu hanya komunikan yang pasif, yang dihajar pesan-pesan (yang sejatinya berbentuk perintah liputan/penulisan) dari editormu yang selalu berperan sebagai komunikator. Kamu menjadi subordinat semata, menjadi sekadar objek belaka.
Nah, jika kamu dapat memberi editormu umpan balik, peluangmu setara dengan editormu sangat besar, setidak-tidaknya setara dalam proses komunikasi sehari-hari. Peluangmu menjadi komunikator (yang tidak hanya sebagai komunikan), sama besarnya.
Kenapa saya memprovokasimu agar kamu setara dengan editormu dalam pekerjaan jurnalistik? Sebab pekerjaan jurnalistik itu pekerjaan dialektika, yang membutuhkan pemikiran. Pekerjaan jurnalistik bukan pekerjaan tukang di mana kamu berfungsi sebagai, maaf, jongos semata. No!
Ini pekerjaan intelektual, Bro. Tetapi jika kamu tidak berkutik terhadap editormu dan menerima begitu saja perintahnya tanpa dialektika, lalu apa bedanya dengan pekerjaan jongos?
Kok sarkas gitu, sih? Ya sarkas, memangnya kenapa?
Terus apa yang harus kulakukan? Apa aku harus melawan editor? Mungkin kamu bertanya begitu. Please, jangan naiflah. Melawan editormu merupakan cara bunuh diri tersendiri yang paling efektif. Bukan begitu caranya, Bro!
Ajaklah editormu berdiskusi tentang peliputan dan pengembangan suatu peristiwa yang akan kamu lakukan, berdialektika dengan editormu soal "why" dan "how"-nya sebuah peristiwa, beri editormu asupan informasi terkini, dan terakhir; buatlah editormu sangat bergantung kepadamu untuk semua liputan peristiwa yang kamu lakukan!
Caranya? Ya, isi kepalamu terlebih dahulu dengan pengetahuan sesuai bidang liputanmu, kemukakan pendapat narasumber terhebat yang baru saja kamu dapatkan, panas-panasi editormu dengan buku terbaru yang sesuai bidang liputanmu dan terutama menunjang peristiwa yang terjadi. Biarkan editormu bertanya, "Informasi apa lagi yang kamu dapatkan dari lapangan?"