Bangku batu membeku sehabis hujan. Selembar plastik kresek begitu saja menjadi alas. Masih terasa dingin, tapi tak lagi membasah.
Ia yang  gelisah, membiarkan kedua kakinya kadang bersila, kadang berayun, dan sesekali  menggaruk tanah basah dengan sandal karetnya.
Matanya mencuri-curi pandang pintu pagar. Berharap pintu pagar itu berderit, memunculkan sosok yang kini ada di dalam kepalanya.
"Kenapa di sini? Lihat, bibirmu membiru."
Denyar nadinya mengencang.
"Ah, Dia...," gumamnya.
Direngkuhnya sosok itu, membuat tubuhnya hilang dalam satu pelukan.
"Jangan pergi lagi, jangan pergi lagi," Â desahnya menghangati bibirnya yang sudah kelu.
Kemudian ia tak berkata apa-apa lagi, membiarkan hangat pelukan menjalari seluruh tubuhnya.
Hatinya berkisah. Sepanjang menanti, dalil inilah yang terus menggema, " yang Maha, memalingkan hati makhluk untuk pergi atau kembali. Semua bukannya tanpa maksud."
Sesaat ia melayang.