Mohon tunggu...
Ihsan Iskandar S.Sos M.E C.DMP
Ihsan Iskandar S.Sos M.E C.DMP Mohon Tunggu... Seorang Dosen, Peneliti, Mentor 70+ UMKM, Entreprenuer, & Juara Nasional Wirausaha Berbasis Masjid. Kontak: 0895-1997-7808

Seorang Dosen, Mentor 70+ UMKM, Entreprenuer, Juara Nasional Wirausaha Berbasis Masjid. " Memiliki pengalaman 7 Tahun menjadi Sales dan Manajer Marketing, Event Organizer, dan Pengalaman Organisasi Pers pemberitaan. Memiliki Kemampuan Public Speaking, Pembuatan Website, IT Skill Based dan Desain Grafis. Dosen di Kampus STIM Sukma dan Ketua UMUM RTIK Medan. Kontak: 0895-1997-7808

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Paradoks Hilirisasi di Surga terakhir: Saat Lumbung Nikel Nasional Mengancam Lumbung Ikan Dunia

24 Juni 2025   17:16 Diperbarui: 24 Juni 2025   15:51 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Ihsan Iskandar S.Sos M.E

Kebijakan hilirisasi nikel kerap digaungkan sebagai pilar utama transformasi ekonomi Indonesia di abad ke-21. Sebuah langkah strategis yang didasari oleh niat mulia: melepaskan bangsa dari jerat ketergantungan pada ekspor bahan mentah yang rentan, sembari membangun kedaulatan industri di tengah arena persaingan global. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia berambisi menjadi pusat pengolahan dan produksi bernilai tambah tinggi, memasok komponen vital untuk baterai kendaraan listrik yang menjadi tumpuan transisi energi dunia. Secara makro, kebijakan yang diimplementasikan melalui larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 ini menunjukkan keberhasilan gemilang, ditandai lonjakan investasi dan nilai ekspor produk turunan nikel hingga ratusan triliun rupiah. Namun, di balik narasi keberhasilan nasional ini, terdapat sebuah paradoks yang tajam dan mengkhawatirkan ketika kebijakan "satu ukuran untuk semua" ini diterapkan di Raja Ampat. Di sini, ambisi untuk menjadi lumbung nikel nasional secara langsung mengancam peran Raja Ampat sebagai lumbung ikan dan keanekaragaman hayati dunia.

Untuk memahami skala risiko yang dihadapi, kita harus terlebih dahulu mengakui status Raja Ampat yang tak tergantikan. Kawasan ini bukan sekadar gugusan pulau indah, melainkan sebuah episentrum ekologis global. Terletak di jantung Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle), perairan Raja Ampat adalah rumah bagi 69% hingga 75% spesies karang dunia, lebih dari 1.700 spesies ikan karang, dan ratusan jenis moluska. Para ilmuwan kelautan sering menyebutnya sebagai "pabrik spesies," di mana arus laut yang kaya nutrisi menciptakan kondisi ideal bagi pemijahan dan pembesaran ikan yang kemudian menyebar dan menopang perikanan di seluruh Bentang Laut Kepala Burung Papua. Fungsi sebagai "lumbung ikan" ini bukan hanya penting secara ekologis, tetapi juga menjadi fondasi ekonomi biru yang menopang kehidupan ribuan masyarakat lokal melalui perikanan tangkap tradisional dan ekowisata bahari yang nilainya terus meningkat. Nilai ekonomi ekosistem yang sehat ini, dari pariwisata saja, diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah per tahun, sebuah angka yang nyata dan terdistribusi langsung ke masyarakat.

Ancaman terbesar datang dari sifat dasar pertambangan nikel di darat dan dampaknya yang tak terelakkan terhadap ekosistem laut. Aktivitas penambangan terbuka (open-pit mining) di pulau-pulau kecil seperti Pulau Gag dan Kawe secara inheren melibatkan pembabatan hutan atau deforestasi dalam skala besar. Di wilayah dengan topografi berbukit dan curah hujan sangat tinggi seperti Raja Ampat, lahan yang terbuka tanpa tutupan vegetasi menjadi sangat rentan terhadap erosi. Setiap hujan deras akan mengikis lapisan tanah atas yang kaya akan mineral laterit, mengubah aliran sungai menjadi berwarna merah pekat karena membawa sedimen. Aliran sedimen inilah yang menjadi "pembunuh senyap" bagi ekosistem di bawahnya.

Ketika sedimen ini mencapai laut, partikel-partikel halus tersebut akan menutupi terumbu karang, menghalangi cahaya matahari yang dibutuhkan oleh alga zooxanthellae untuk berfotosintesis---sebuah proses simbiosis yang memberi makan dan warna pada karang. Tanpa cahaya matahari, karang akan stres, memutih (bleaching), dan akhirnya mati. Kematian terumbu karang bukan sekadar hilangnya keindahan bawah laut; ini adalah keruntuhan sebuah kota metropolis di dalam lautan. Hilangnya struktur karang berarti hilangnya tempat berlindung, mencari makan, dan berkembang biak bagi ribuan spesies ikan dan biota laut lainnya. Akibatnya, stok ikan akan merosot drastis, menghancurkan mata pencaharian nelayan lokal dan mengancam ketahanan pangan regional. Ancaman ini bukanlah spekulasi, melainkan sebuah realitas yang telah terdokumentasi di pusat-pusat industri nikel lain di Indonesia, seperti di Morowali dan Halmahera, di mana nelayan melaporkan penurunan hasil tangkapan yang dramatis akibat pencemaran laut.

Di sinilah letak cacat fundamental dari penerapan kebijakan hilirisasi yang seragam. Kebijakan ini, yang mungkin relevan untuk kawasan industri yang telah ditentukan, menjadi buta konteks ketika dipaksakan di wilayah dengan nilai konservasi global seperti Raja Ampat. Terjadi benturan regulasi yang sistemik, di mana Undang-Undang Minerba dan ambisi hilirisasi seolah memiliki supremasi atas Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang secara tegas melarang pertambangan di pulau kecil karena risikonya yang sangat tinggi. Manipulasi tata ruang, seperti yang diduga terjadi dengan dikeluarkannya Pulau Gag dari peta final UNESCO Global Geopark, semakin memperlihatkan bagaimana pertimbangan konservasi dapat dinegosiasikan demi kepentingan industri.

Pada akhirnya, kita harus berani melakukan kalkulasi ulang. Berapa nilai tambah feronikel atau nikel sulfat jika produksinya dibayar dengan kehancuran permanen "pabrik ikan" paling produktif di dunia? Apakah keuntungan dari royalti dan pajak mampu mengkompensasi kerugian ekonomi jangka panjang dari sektor pariwisata dan perikanan yang hancur, serta biaya restorasi ekosistem yang hampir mustahil dilakukan? Mendorong Raja Ampat menjadi lumbung nikel adalah sebuah pertaruhan yang sangat tidak seimbang. Ini adalah upaya untuk memanen telur emas dengan membunuh angsa yang melahirkannya. Pemerintah perlu menyadari bahwa tidak semua kekayaan alam harus diekstraksi. Untuk Raja Ampat, kekayaan sejatinya tidak terkubur di dalam tanah, melainkan hidup, bernapas, dan berkembang biak di perairannya yang jernih. Melindungi lumbung ikan dunia ini dari ancaman lumbung nikel nasional adalah satu-satunya pilihan yang rasional, baik secara ekologis maupun ekonomi, untuk masa depan yang berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun