Mohon tunggu...
bahrul ulum
bahrul ulum Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer Brebes Community (KBC) - Jawa Tengah

Apa yang ditulis akan abadi, apa yang akan dihafal akan terlepas, ilmu adalah buruan, pengikatnya adalah tulisan, ikatlah dengan kuat buruan mu itu. (KBC-01)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Sebuah Gerakan Yang Masih Minoritas Setelah Adzan Magrib Mengaji dan Belajar

18 Februari 2018   19:27 Diperbarui: 19 Februari 2018   06:15 1517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar Mengaji Setelah Adzan Magrib / Doc wajibbaca.com

Tahun 1990-an, penulis masih sempat melihat ada pajak televisi, saat itu jarang orang punya televisi, mereka yang mempunyai televisi dianggap orang yang mampu. Pajak televisi sendiri adalah sebuah bentuk pajak yang dibebankan kepada masyarakat yang memiliki televisi. 

Karena saluran televisi swasta sudah bisa mencari iklan sendiri ada maka disebutkan jika iuran itu adalah untuk saluran TVRI. Dimana saat itu televisi milik pemerintah tersebut tidak memasang iklan. Di tahun 2004, pemerintah sempat mengusulkan adanya penarikan pajak lagi. Tetapi, karena banyaknya resistensi akhirnya kegiatan itu urung dilakukan dan kini televisi sudah tidak ada pajaknya.

Saat tahun 90-an, memang masih diuntungkan, pertama belum sebanyak tahun sekarang ini televisi hampir ada di setiap rumah, walaupun tidak ada kebijakan keren yakni Gerakan Mengaji dan Belajar setelah Adzan Magrib saat tahun 90-an, namun petuah orangtua di kampung sepertinya dipatuhi oleh anak-anak pada saat zaman tersebut. 

Mereka tidak menolak bahkan malu jika saat setelah magrib kemudian tidak mengaji atau belajar di rumahnya, anak-anak yang keluar rumah tidak membawa juz'ama atau alqur'an ada perasaan malu, dan seteah mereka mengaji selesai dilanjutkan dengan belajar sekolah,  mau nyalakan televisi setelah jam 20.30 WIB hingga jam 21.00 setelah itu disuruh dimatikan dan istirahat untuk jaga kesehatan, karena besok itu harus belajar lagi di sekolah. 

Hampir anak-anak di era tahun tersebut patuh terhadap perintah orangtuanya, termasuk lingkungan pun mendukung, maklum sangat jarang Pedagang kaki lima orang jualan di perempatan jalan, listrik pun belum banyak yang punya, hidup di desa sangatlah sepi dan tidak seperti sekarang ini, mau masuk desa atau kampung pun berjejer pedagang kaki lima berjualan, ada bakso, mie ayam, gorengan dan aneka masakan lainnya, seafood dulu hanya ada di tingkatan kota, sekarang menjamur hingga ke kampung-kampung, dan anehnya laku keras. 

Kondisi sekarang begitu dahsyatnya tantangan orangtua untuk memastikan agar setelah magrib mengaji dan belajar. Sangat jarang terjadi anak sekarang ini patuh terhadap perintah orangtua, apalagi kalau disuruh belajar mengaji dan belajar sekolah, kalau disuruh tidak ada larangan menonton televisi dan main handphone mungkin, anak akan memilih nonton TV, tidak mau mengaji dan main gadget/handphone berbasis android. 

Perkembangan zaman sekarang, sudah muncul banyak terobosan bagi  kota/kabupaten untuk larangan nonton televisi diwaktu jam belajar, dibuat ada kebijakan seperti ini pun pada prakteknya masih saja susah pada pelaksanaanya. contoh beberapa kota yang melaksanakan program gemar magrib, yakni di Kecamatan Neglasari Kota Tangerang, Gerakan masyarakat belajar dan mengaji (Gemar Magrib) mulai diberlakukan oleh Kecamatan Neglasari Kota Tangerang, awal Maret 2016. Aparat Kecamatan Neglasari meminta masyarakatnya untuk tidak menayangkan televisi mulai pukul 18.00 WIB hingga 20.00 WIB. Sehingga anak-anak usia sekolah, di wilayah Kecamatan Neglasari dapat belajar dan mengaji pada jam tersebut. 

Di Mayong Jepara Jawa Tengah bahkan Pemerintah Desa Pancur, Kecamatan Mayong, Jepara, Jawa Tengah, menciptakan Peraturan Desa yang mewajibkan pelajar mematikan televisi selepas Magrib dan mengisi waktu dengan belajar serta mengaji. 

Begitu pula bagi warga Desa Sidomukti Kecamatan Plaosan Magetan patut dicontoh. Setelah adzan Maghrib berkumandang, para orang tua di daerah itu mematikan televisi.  Ini mereka lakukan agar tidak menganggu konsentrasi belajar anak-anak mereka. Aturan itu diberlakukan sejak tahun 2003 lalu. Dalam aturan yang dituangkan dalam Peraturan desa (Perdes) itu berisikan tentang wajib belajar dan jam wajib mati televisi (Wajarwamati). Televisi dimatikan mulai pukul 18.30-20.30 WIB setiap harinya.  

Perlu ada kebijakan yang tidak parsial atau beberapa desa saja yang melaksanakan gerakan seperti ini, mestinya harus satu Kabupaten/Kota sehingga ada keseragaman dalam melangkah dan juga ikut bersama-sama mengawasinya. Tapi kalau cuma satu desa, jelas kebijakan tidak bisa efektif dan efisien. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun