Pengamat sosial mau melihat karakter suatu bangsa, baik itu sikap atau perilaku maka lihatlah pada perilaku saat berkendaraan, dimana ada rambu-rambu lalu lintas yang ditaruh dengan jelas. Seperti marka jalan, tanda jalur sepeda, namun ironisnya pengguna kendaran sepeda motor malah enggan melintas di marka tersebut, belum lagi saat kondisi jalan sedang macet, apapun dilakukan oleh mereka asalkan dirinya cepat dan selamat, pelanggaran hal yang lumrah, kalau nanti ada polisi, ya memilih tilang atau jalur damai.Â
Seorang Pendidikan jika ingin melihat karakter keberhasilan anak didiknya, di jaman sekarang,bukan hanya melihat pada prestasinya saja, tapi lihatlah saat adab mereka dalam bergaul, termasuk sopan santun (budi pekertinya), bayangkan saja, puluhan tahun yang lalu, saat masih pendidikan dasar, setiap ketemu guru kelasnya atau guru di sekolah, anak dituntut untuk cium tangan saat ketemu gurunya, baik itu guru kelas maupun guru mata pelajaran dan sivitas akademisnya, ini artinya anak didik ini dilatih karakter sejak dini dengan harapan, mereka tidak lupa akan jasa dan tata cara menghormati ilmu dan gurunya yang telah mengajarkannya.Â
Seorang guru agama atau ustad yang mengajarkan baca tulis alqur'an di majlis tak'lim pun mengajarkan sejak dini tata cara menghormati ilmunya para nabi, termasuk tata cara bergaul dan menghormati antara guru, antara teman sebaya, orang tua, lingkungannya. Secara kultur jelas ini modal kuat yang luar biasa bagi mereka yang telah dididik karakternya termasuk tata cara mengamalkannya, terjadi perubahan nantinya, itu karena arus globalisasi yang kuat dan lingkungan yang berbeda yang menjadikan perubahan signifikan dirinya.Â
Ada sebuah cerita karakter bagaimana adab seorang kyai kepada gurunya, walaupun gurunya sudah menjadi kyai besar, namun disuatu saat ketemu gurunya yang jualan es, namun adab sopan santun dan tata krama tetap di pegangnya.Â
Mbah Dullah (KH Abdullah Salam) Sewaktu akan memberi sambutan tiba2 turun dari panggung, padahal didepan panggung sudah duduk para kiai, pejabat pusat maupun daerah dan ribuan santri maupun tamu undangan, Mbah Dullah turun dan ngeloyor pergi menemui penjual dawet dipinggir jalan. Mbah Dullah dgan ta'dzim menyapa penjual dawet dan mencium tangannya.
Ribuan pasang mata menyaksikan peristiwa itu, mereka bertanya-tanya siapakah penjual dawet ini, sampai mbah Dullah seorang kiai sepuh dan kesohor waliyullah dari Kajen-Margoyoso, Pati, Jawa Tengah ini mencium tangannya. Setelah mencium tangan penjual dawet, mbah Dullah kembali lagi ke panggung dan berpidato dg singkat :
" Tawasul itu penting untuk nggandengkan taline gusti Allah," sembari mensitir ayat .
...
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai, dan ingatlah kalian semua akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu semua karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara... (QS. Ali-Imron 103) dan wa alaikum salam.
Kemudian beliau mandab (turun) dan duduk di kursi bawah panggung.