Mohon tunggu...
imran husen
imran husen Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Your Culture is Your Face

8 November 2017   21:44 Diperbarui: 8 November 2017   22:04 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti surga di bawa telapak kaki ibu. jika seorang anak ingin meraih kebahagiaan dunia-akhirat, salah satunya ia harus berpakti kepada orang tua terutama ibunya. begitupun dengan kearifan lokal yang menyimpan cita-cita dan warisan setiap leluhurnya. Jika kita ingin mengenal identitas kita, maka yang harus kita lakukan adalah kembali melihat cipta karsa dari para pendahulu kita.

Berangkat dari perkembangan teknologi dan informasi yang semakin dekat dengan aktifitas manusia dan memungkinkan terjadinya sebuah dominasi kebudayaan memang menjadi satu hal yang sangat memperihantinkan. Sebuah jaman yang seharusnya kita mengaktualisasikan identitas kebudayaan dalam skalah yang lebih besar, justru yang terjadi adalah semacam perbudakan dan menyesatkan.

Khusunya pada generasi mudah yang ada di kota ternate Maluku utara. Satu hal secara umum dapat dilihat adalah pergeseran pola hidup   yang membanggakan cipta karsa bangsa lain dari pada bangsanya sendiri. hal ini sangat mudah kita temukan pada orang-orang yang ada di sekelilingi kita. Dari pola interaksi, cara berpakaian, hingga sampai pada kebiasaan yang bersifat domestic.

Beberapa contoh yang bisa di angkat adalah banyaknya kaum muda kota ternate khususnya perempuan  yang begitu mudah mengadopsi  karakter yang mereka dapat lewat industry perfileman yang menampilkan cara hidup bangsa lain. Semakin lama ia di perhadapkan dengan budaya tersebut akan membentuk cara berfikirnya untuk memilih gaya hidup seperti tokoh-tokoh yang di gambarkan dalam perfileman itu.

Kebiasaan ini lama - kelamaan akan membuat ia semakin jauh dari identitas kebudayaannya. Pada konteks ini, ia akan mengganggap  warisan leluhurnya sebagai satu hal yang kuno dan ketinggalan jaman.

Kalaupun demikian maka pertanyaannya adalah apakah penting mempelajari budaya local di tengah era informasi  yang pesat  seperti ini? Sejauh mana hubungan antara kebudayaan local dengan pembentukan karakter mereka?

Tentu tidak mudah memjawab pertanyaan tersebut secara serawutan.Namun hal yang harus kita hubungkan untuk menemukan pentingnya mempelajari dan mengembangan budaya local adalah  antara kebudayaan local itu sendiri  dengan cita-cita bangsa dan Negara untuk menemukan satu nilai atau semacam ideologi yang di pegang oleh generasi muda. Dan cara yang paling tepat adalah melihat kebudayaan local itu secara historis baik dari asal - usulnya dan nilai secara filosofis berada di balik kebudayaan local tersebut.  

Pertama adalah interaksi sosial. Budaya ini di bawah tahun 1850-an  sangat menjunjung peri kemanusiaan dalam bernteraksi.  Sederhananya,  para pendahulu sangat menjaga kewibawaan manusia baik dirinya sendiri maupun orang lain yang berinteraksi dengannya. Mereka sangat menjaga etika dalam komunikasi sehingga ruang konflik antar sesama sangat jarang di temukan.   

Namun tradisi ini pada perkembangannya hampir tidak lagi di temukan pada interaksi kaum muda di kota ternate. Dengan sedikit dalil yang mereka sebut sebagai modern, lantas membuat mereka mengelabui batas kewajaran. Jangan heran kalau masalah-masalah sosial seperti perkelahian,  kenakalan remaja, hingga intoleransi antar sesama sampai pada pelecehan seksual meraja lela di atas bumi kerajaannya. Kehidupan semakin kacau, tidak terarah dan itu di motori oleh kaum muda. Sangat di sayangkan bukan?

Kedua adalah  kerja sama atau yang kita sebut sebagai gotong royong. Tradisi ini  khsusnya di kota ternate hampir punah karena kaum mudanya tidak lagi melihat hal  itu sebagai sebuah peninggalan yang mulia oleh pendahulunya.  Gotong royong  yang dalam bahasa mereka adalah sodio gia (bersambung tangan) telah tergantikan oleh tradisi yang semakin indididualistik.

Ada solidaritas baru yang terjadi di kalangan mereka dan itu hanya sebatas komunitas yang di bentuk karena kesamaan hoby, cita-cita dan kesamaan latar belakang. Komunitas ini cenderung berinteraksi di kalangan mereka saja. Sebuah komunitas yang justru melahirkan kelas-kelas sosial. Akibatnya perbedaan bukan lagi di pandang sebagai rahmat melainkan menjadi titik pemicu konflik.  Parahnya hal ini terjadi di kalangan pemuda kampung sampai pada tingkat pemuda terdidik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun