Konflik bersenjata Thailand-Kamboja 2025 berakar pada sengketa perbatasan akibat demarkasi kolonial Prancis 1907, dengan pusat perselisihan di Kuil Prasat Ta Moan Thom dan wilayah Segitiga Zamrud. Ketegangan memuncak pada Februari 2025 ketika pasukan Thailand melarang warga Kamboja menyanyikan lagu kebangsaan di kuil tersebut, lalu pecah menjadi pertempuran besar pada 24 Juli 2025 setelah insiden ranjau yang melukai lima prajurit Thailand. Thailand merespons dengan serangan udara F-16, sedangkan Kamboja membalas menggunakan roket BM-21 Grad yang menewaskan 14 warga sipil Thailand, termasuk anak-anak. Dampak kemanusiaannya sangat besar, dengan lebih dari 138.000 warga Thailand dan 35.000 warga Kamboja mengungsi, sementara serangan terhadap rumah sakit di Phanom Dong Rak dan sekolah di Kamboja menunjukkan pelanggaran serius terhadap perlindungan sipil.
Kapabilitas militer Thailand dan Kamboja pada konflik 2025 menunjukkan ketimpangan besar: Thailand memiliki 361.000 personel aktif dengan anggaran $5,7 miliar dan kekuatan udara modern seperti F-16 dan Gripen, sedangkan Kamboja hanya 124.300 personel dengan anggaran $1,3 miliar, mengandalkan helikopter serang dan artileri lebih terbatas. Keunggulan udara Thailand memungkinkan serangan presisi menghancurkan markas infanteri Kamboja sambil menghindari pertempuran langsung di medan berbukit, sementara Kamboja mengandalkan ranjau, medan pegunungan, drone pengintai, dan roket jarak jauh PHL-03 untuk memperlambat invasi. Thailand unggul dalam logistik berkat helikopter Black Hawk dan jaringan jalan, sedangkan Kamboja rentan karena pasokan daratnya bergantung pada Vietnam dan Laos. Teknologi asing juga berperan: Thailand mendapat dukungan AS melalui latihan Cobra Gold, sedangkan Kamboja memanfaatkan radar dan sistem pertahanan udara buatan China. Isu serius muncul dengan tuduhan penggunaan munisi klaster oleh Thailand di Kholch, yang berpotensi melanggar hukum internasional meski kedua negara tidak menandatangani Konvensi Oslo 2008.
Konflik Thailand-Kamboja 2025 memperlihatkan tarikan kepentingan global dengan Kamboja mendapat dukungan militer dan diplomatik China melalui latihan Golden Dragon serta pengembangan Pangkalan Ream, sementara Thailand memperkuat posisinya lewat status sekutu non-NATO AS dan puluhan latihan militer bersama tiap tahun. Meski begitu, respons AS sebatas seruan gencatan senjata, sedangkan ASEAN gagal memediasi melalui upaya Malaysia sebagai ketua, memperlihatkan lemahnya mekanisme penyelesaian konflik di kawasan; bahkan Vietnam diperkirakan bisa turun tangan jika kepentingan Sungai Mekong terganggu. Ketegangan ini memperdalam polarisasi ASEAN menjadi kubu pro-China seperti Kamboja dan Laos versus pro-AS seperti Thailand dan Filipina. Selain itu, dampak ekonomi semakin memperburuk situasi kemanusiaan ketika Thailand memutus ekspor listrik serta internet ke Kamboja, sedangkan Kamboja membalas dengan menghentikan impor bahan bakar dari Thailand.
Sengketa hukum Thailand-Kamboja 2025 berakar pada status perbatasan yang dipengaruhi putusan ICJ 1963 dan 2013 yang mengakui kedaulatan Kamboja atas Kuil Preah Vihear, namun tidak menuntaskan masalah demarkasi lain. Serangan roket Kamboja ke rumah sakit dan pom bensin di Thailand melanggar Prinsip Distingsi dalam Hukum Humaniter, sedangkan serangan udara Thailand bisa dianggap tidak proporsional jika korban sipil berlebihan. Klaim Kamboja menggunakan Pasal 51 Piagam PBB untuk membenarkan aksinya sebagai pertahanan diri diragukan karena sifatnya ofensif. Dari perspektif Indonesia, UU Hubungan Luar Negeri mewajibkan upaya penyelesaian damai melalui ASEAN, sedangkan UU Pertahanan menyoroti ancaman terhadap stabilitas kawasan. Pelanggaran terhadap Bangkok Declaration 1967 membuka peluang sanksi ekonomi ASEAN, sementara lemahnya mekanisme ASEAN dan pengaruh veto China di DK PBB membuat respons internasional lamban. Di sisi lain, peta kolonial Prancis 1907 tetap diakui ICJ berdasarkan prinsip uti possidetis juris meski relevansinya diperdebatkan dalam hukum kebiasaan modern.
Eskalasi konflik Thailand-Kamboja 2025 diperkirakan melibatkan dominasi udara Thailand dengan Gripen E/F dan serangan siber untuk melemahkan komando Kamboja, sementara Kamboja mengandalkan perang asimetris melalui drone kamikaze, ranjau improvisasi, dan bantuan sistem pertahanan udara dari China. Solusi damai memerlukan mediasi netral seperti kolaborasi Indonesia-Jerman, pemanfaatan ICJ untuk menilai keabsahan peta kolonial, serta reformasi ASEAN dengan protokol manajemen konflik yang memiliki mekanisme sanksi jelas. Jika tidak segera terselesaikan, konflik ini berisiko menjadi proxy war antara AS dan China yang bisa meluas ke Laut China Selatan dan mengguncang stabilitas regional. Intinya, benturan ini bukan sekadar soal perbatasan, tetapi juga cerminan warisan kolonial, kesenjangan teknologi militer, dan kompleksitas geopolitik Indo-Pasifik, sehingga penyelesaiannya membutuhkan gencatan senjata sekaligus pembaruan mekanisme keamanan ASEAN dan penegakan hukum humaniter internasional yang lebih tegas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI