Mohon tunggu...
Anwar Effendi
Anwar Effendi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mencari ujung langit

Sepi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Rindu Silaturahmi di Rumah Kebon

22 Mei 2020   14:11 Diperbarui: 22 Mei 2020   14:10 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Almarhum bapak saya mengajari cucunya cara memanjat pohon. (foto: dok. pribadi)

Rumah orangtua saya di "kebon". Warga setempat menyebutnya alas kisik. Atau hutan di dekat pantai. Mereka menganggap orangtua saya nekat mendirikan rumah di alas kisik.

Selain jauh dari tetangga, tepat di lokasi rumah orangtua saya, merupakan tempat favorit orang bunuh diri. Sudah banyak korbannya. Maka tak ada orang yang berani mendekat apalagi sampai membangun rumah di sana.

Karena cuma satu-satunya rumah di tengah "kebon", hingga tahun 1984 sangat sulit dijangkau aliran listrik. Satu-satunya penerangan hanya menggunakan lampu cempor yang menggunakan tenaga minyak tanah.

Namun sekarang, di sekeliling rumah orangtua saya, sudah banyak tetangga. Walau begitu, posisi rumah di "Kebon" belum bisa dihilangkan. Memang ada jalan menuju ke rumah orangtua saya. Cuma kendaraan roda empat tidak bisa berpapasan dari dua arah. Jika terjadi dua kendaraan berhadapan, salah satu harus mengalah cari lahan kosong, atau masuk ke halaman rumah warga dulu.

Demikian juga kalau hendak ke rumah orangtua. Kendaraan roda empat harus parkir jauh. Posisi rumah di "kebon" tidak memungkinkan dijangkau mobil. Setelah parkir di lahan kosong, baru jalan kaki menuju rumah orangtua.

Gambarannya, jika mau ke rumah orangtua untuk sungkem di Hari Raya Idul Fitri, maka harus melewati Jalan Raya Pasindangan Kabupaten Cirebon, masuk Gang Masjid, menyusuri tepi sungai, lanjut masuk Gang KBN, lantas mengarah ke tepi laut.

Sudah kebayang masuk gang, jalannya sempit, belum lagi kalau bertemu dengan mobil dari arah berlawanan. Itu benar-benar menjadi momen yang menyebalkan. Tapi tetap saja ada rasa rindu untuk berkunjung ke rumah tempat saya dibesarkan. Tempat yang dulu dikata orang sebagai alas kisik. Tempat yang dulu jadi lokasi favorit orang bunuh diri.

Anak-anak bangga bisa memetik buah mangga setelah memanjat pohonnya. (foto: dok. pribadi)
Anak-anak bangga bisa memetik buah mangga setelah memanjat pohonnya. (foto: dok. pribadi)
Momen menyebalkan saat akan silaturahmi ke rumah orangtua, bukan hanya melewati jalan yang sempit dan parkir mobil yang jauh. Tapi serangan nyamuknya yang minta ampun. Lokasi yang di "Kebon" dan dekat pantai, membuat nyamuk berkembang biak secara leluasa.

Kalau sudah ngumpul di rumah orangtua, saya, istri, dan anak-anak siap-siap saja tangannya harus lincah. Menepuk nyamuk yang tiba-tiba saja sudah menempel di tubuh dan asyik menyedot darah. Kalau tangan tidak lincah, sudah bisa dipastikan tubuh banyak bentol-bentol.

Sekarang Bapak dan Emak saya sudah tidak ada. Namun kerinduan untuk bersilaturahmi, kumpul-kumpul di rumah "kebon" tetap menggebu. Banyak kenangan yang tidak bisa dilupakan di rumah tersebut. Suasana "Kebon" itu yang membuat asyik. Masih banyak pepohonan dan jauh dari keramaian.

Anak-anak pun masih senang jika diajak ke rumah "kebon" di Desa Pasindangan Kabupaten Cirebon. Kalau sudah sampai di sana, mereka seolah-olah menjadi liar. Bebas bermain kesana kemari, karena masih banyak lahan yang kosong. Tidak seperti di Bandung yang sudah sulit untuk mencari lahan yang bisa dijadikan tempat bermain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun