Suatu hari melakukan perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Biar agak nyaman memilih moda transportasi kereta api. Karena harus tiba di Jakarta pukul 09.00, maka tiket kereta api yang dibeli jam keberangkatannya pukul 05.00. Tiket yang dibeli sesuai kemampuan dompet, cukup kelas ekonomi saja.
Usai salat Shubuh, diantar anak ke Stasiun Bandung Jalan Kebon Kawung. Tak lama menunggu di peron, KA Argo Parahyangan datang. Gerbong kelas ekonomi mudah ditemukan. Masih ada rasa kantuk dan agak bete, pagi-pagi haru melakukan perjalanan.
Dalam hati berdoa, semoga dapat teman perjalanan yang menyenangkan. Syukur-syukur perempuan dan kalau bisa yang cantik. Rupanya yang Maha Kuasa mendengar sekaligus mengabulkan doa saya. Datang seorang ibu muda, cantik lagi. Dia duduk di kursi bersebalahan dengan saya.
Secara paras wajah, memang cantik ibu muda ini. Namun saya jadi ragu, apakah bisa menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Pertama dia membawa bayi. Kedua, dilihat dari bentuk matanya, langsung bisa dipastikan dia keturunan Tionghoa.
Saya punya pengalaman, berteman secara akrab dengan etnis Tionghoa susahnya minta ampun. Tetap seperti ada jarak. Tapi kalau mereka sudah percaya kepada kita, baiknya luar biasa. Dalam artian, kita tidak minta tolong, malah mereka menawarkan bantuan.
Saya sempat berteman akrab dengan dua teman yang beretnis Tionghoa. Pertama Halim Wijaya, mantan Kepala Dinas Peternakan Kota Cirebon. Kedua Gunawan Andi, seorang pengusaha burung perkutut, yang hasil ternaknya sering menjadi juara nasional. Di awal perkenalan dengan mereka, komunikasi seperti sulit. Namun, begitu saya dipercaya, istilahnya kapapun saya minta tolong mereka bersedia.
Khawatir dapat respons negatif
Kembali dengan ibu muda yang sebangku dalam gerbong kereta menuju Jakarta, saya berpikir harus memulai obrolan dari mana. Saya khawatir dia memberikan respons negatif dan malah mencurigai saya.
Saya melirik, dia menggendong anaknya namun sempat memainkan perangkat tablet. Dia asyik memainkan game. Dalam hati, nah ini dia kesempatan saya untuk masuk mengajak dia berbincang.
"Neng senang main game ya," saya memulai obrolan.
Ternyata di luar dugaan, responsnya menyenangkan. Saya tidak menangkap kesan jutek atau tatapan curiga. Justru yang didapat senyum renyah.