Mohon tunggu...
Julian Reza
Julian Reza Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Bank untuk Semua

8 November 2017   10:10 Diperbarui: 8 November 2017   13:59 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Semenjak Krisis Ekonomi 1997 -- 1998, terbukti bahwa Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dapat menjadi salah satu penopang ekonomi bangsa. Beragam manfaat dari UKM yang mampu membantu ekonomi nasional di era krisis, mulai dari kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja hingga pemanfaatan komponen dalam negeri yang dominan dalam menjalankan kegiatan usahanya. Oleh karenanya maka wajar jika UKM begitu perlu diperhatikan perkembangannya.

Sayangnya ternyata selepas krisis, sektor UKM seakan kembali terpinggirkan dari sorot mata pemangku kekuasaan. Di atas kertas, memang pemerintah memperhatikan sektor UKM melalui pendirian Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah ( Kemen KUKM ), akan tetapi pemberdayaan sektor UKM melalui kementerian ini terlihat belum sepenuhnya mampu memberdayakan UKM agar menjadi sektor yang menarik dan menguntungkan bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dari segi jumlah pelaku usaha, jumlah wiraswasta di Indonesia kendati tumbuh dari 1,67% pada tahun 2013/2014 menjadi 3,1% dari total populasi penduduk pada tahun 2016, tetapi jumlah ini masihlah lebih rendah dari beberapa Negara yang secara ekonomi lebih maju dari Indonesia seperti Singapura ( 7% ), Tiongkok ( 10% ) maupun Amerika Serikat ( 12%, http://www.depkop.go.id/content/read/ratio-wirausaha-indonesia-naik-jadi-31-persen/  ).

Satu hal yang membuat UKM kurang dapat berkembang adalah anggapan yang selama ini dipercaya bahwa UKM adalah sektor yang tidak bankable. Artinya, UKM kurang menguntungkan untuk dapat memperoleh kucuran kredit perbankan dibandingkan dengan Usaha Besar. Hal ini sesungguhnya sudah banyak dikritisi oleh berbagai pihak. Salah satunya adalah anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun yang mengkritik bank-bank karena dianggap lebih senang menyalurkan dana besar kepada satu pengusaha yang bankable daripada menyalurkannya kepada ribuan para pelaku UMKM yang tidak bankable(http://ekonomi.kompas.com/read/2017/02/14/210000726/masalah.klasik.umkm.feasible.tetapi.tidak.bankable ). Bagi pelaku perbankan, sektor UKM dianggap memiliki beberapa kelemahan seperti rentan akan kredit macet, tidak dijalankan secara profesional dan kurang dapat memberikan jaminan ( collateral ).

Hal ini menyebabkan dari total seluruh pelaku UKM, baru 45% - 55% yang mendapatkan akses perbankan (https://economy.okezone.com/read/2012/04/07/450/607283/tak-bankable-ukm-harus-optimalkan-laporan-keuangan ). Padahal tentu semua sudah mahfum bahwa modal atau pendanaan merupakan sebuah syarat penting bagi usaha manapun untuk berkembang, termasuk UKM. Hal ini menjadi buah simalakama karena di satu sisi, UKM diharapkan mampu membantu untuk menyerap tenaga kerja yang untuk selanjutnya menjadi katalis bagi peningkatan daya beli sehingga mampu meningkatkan konsumsi atas beragam produk  barang dan jasa, baik produksi UKM maupun UB. Akan tetapi disisi lain, dengan minimnya pendanaan dari sektor perbankan, maka UKM akan sulit berkembang sehingga kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat juga terhambat.

Pemerintah sesungguhnya telah melancarkan beragam program kredit untuk membantu pendanaan sektor UKM seperti Kredit Usaha Rakyat ( KUR ) dengan suku bunga 9%, LPDB dengan suku bunga 0,2 -- 0,3% perbulan maupun kredit ultra mikro dengan maksimum pinjaman Rp.10 juta (http://www.depkop.go.id/content/read/ratio-wirausaha-indonesia-naik-jadi-31-persen/ ). Kredit tersebut tentunya mampu meringankan beban keuangan pelaku UKM untuk berkembang. Akan tetapi pendanaan seperti ini tanpa dukungan aktif perbankan ( yang masih mempercayai paradigma lama ) menjadikannya sulit untuk dapat mengatasi masalah keuangan dari sektor UKM secara maksimal. Salah satu sebabnya adalah bahwa paradigma lama perbankan itu menyebabkan pelaku UKM kurang familiar dalam berhubungan dengan sektor perbankan dan hal ini berarti pelaku UKM tidak terdidik untuk dapat mengembangkan usahanya secara professional sesuai dengan standar yang diberlakukan oleh perbankan padahal hal tersebut penting untuk dilakukan agar pelaku usaha mampu secara mandiri memperoleh modal dari bank sekaligus meningkatkan profesionalitasnya. Belum lagi program pemerintah yang biasanya kerap berubah sehingga ketersediaan modal atau sumber permodalan juga dapat berubah tergantung keadaan dan hal ini berarti ketidakpastian bagi pelaku UKM untuk memperoleh sumber dana yang tetap.

Oleh karenanya maka yang penting bukan hanya sekedar memberikan sumber pendanaan alternatif selain dari perbankan kepada pelaku UKM, melainkan juga membongkar paradigma perbankan agar mau menerima pelaku UKM selayaknya pelaku usaha lainnya dalam memperoleh modal.

Salah satu yang dapat dilakukan untuk mewujudkan dua tujuan pemberdayaan pelaku UKM melalui hubungannya dengan sektor perbankan ( yakni mendidik mereka menjadi professional melalui pemenuhan kriteria perbankan maupun menjadi pelaku usaha yang mampu berkembang secara mandiri tanpa atau hanya dengan sedikit campur tangan pemerintah ) yakni melalui sinergi antara UKM, mitra Usaha Besar ( UB )-nya maupun pemerintah.

Sinergitas ini penting untuk dilakukan oleh pelaku Usaha Besar mengingat UKM banyak yang menjadi mitra bagi UB dalam menjalankan kegiatan usaha. Oleh karenanya maka jika UKM tidak terberdayakan maka UB sulit untuk dapat memperoleh mitra yang sesuai dengan kebutuhan usaha dari UB. Selain itu jika dilihat dari perananannya selaku penyerap tenaga kerja dan peningkat daya beli maka kekurangberkembangan UKM akan berdampak pada rendahnya daya beli masyarakat bagi hasil -- hasil produksi UB dan tentunya hal ini akan merugikan UB itu sendiri.

Sinergitas ini juga penting bagi pemerintah karena peningkatan potensi ekonomi UKM berarti pembukaan lapangan kerja yang lebih banyak sekaligus sumber pajak yang juga meningkat dan pengalihan dana yang sedianya digunakan untuk memberdayakan UKM kepada sektor lain yang lebih membutuhkan.

Terakhir, bagi perbankan maka pemberdayaan UKM berarti semakin banyak sumber penyaluran kredit yang jika diiringi dengan perkembangannya maka akan semakin menguntungkan bagi perbankan tersebut. Uang modal pinjaman dari bank berikut keuntungan yang didapat oleh pelaku UKM akan berputar didalam sektor perbankan melalui peningkatan tabungan dan pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan perbankan dalam menyalurkan kreditnya lebih lanjut.

Tentunya kekhawatiran perbankan mengenai kelemahan -- kelemahan UKM  dalam memperoleh pinjaman perbankan juga tidak serta -- merta dapat dikesampingkan. Ketidakseriusan ( seperti hanya sebatas usaha sampingan yang tidak bersifat jangka panjang ), ketidakprofesionalan ( minimnya pembukuan keuangan maupun manajemen yang longgar ) serta ketiadaan jaminan memang dapat menghasilkan kredit macet jika tidak diatasi oleh pelaku UKM itu sendiri. Disiniah peranan sinergitas tersebut juga berwujud, bukan saja dalam membuka akses perbankan bagi UKM tetapi juga dapat meningkatkan kualitas dari kinerja pelaku UKM tersebut. Dengan begitu maka harus ada suatu wujud riil dari sinergitas yang kelak akan sermakin memberdayakan sektor UKM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun