Mohon tunggu...
Julian Reza
Julian Reza Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekonomi Syariah dan Pemerataan Kesejahteraan

6 November 2017   15:15 Diperbarui: 6 November 2017   15:22 2358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pemerataan merupakan salah satu aspek penting yang menonjol dalam sistem Ekonomi Syariah. Pemerataan menjamin pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu Negara dapat dirasakan oleh sebanyak mungkin golongan masyarakat, tidak hanya terakumulasi ditangan segelintir golongan. Hal ini kelak akan turut menimbulkan kestabilan dalam upaya masyarakat untuk membangun atau menumbuhkan kesejahteraannya tersebut.

Untuk menjamin pelaksanaannya, maka dalam ekonomi Syariah pertama -- tama diatur dulu pengelolaan akses menuju kesejahteraan melalui kebebasan berusaha untuk memperoleh rizki Allah SWT ( menjamin akses ) dan penguasaan Negara atas barang publik ( menjamin alat produksi ), yaitu sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak. Kedua hal diatas harus diatur untuk menghindari terjadinya monopoli alat produksi atau akses oleh segelintir orang. 

Disini peran pelaku usaha dan Negara sama -- sama penting. Jika pengusaha bebas dalam memiliki dan menggunakan alat produksinya untuk berusaha, maka Negara menjamin bahwa mereka yang kurang beruntung juga dapat memperoleh akses untuk menggunakan alat produksi melalui penggunaan barang publik yang diatur Negara seperti yang tercantum dalam hadits Rasulullah SAW mengenai penggunaan bersama atas air, api dan padang rumput ( maksudnya sumber daya alam yang dikelola Negara untuk digunakan oleh semua orang ). Selain penggunaan barang publik, Negara juga menjamin pemerataan akses untuk menunjang kemaslahatan tersebut. Disinilah pentingnya kebijakan jaminan sosial dari Negara seperti akses pendidikan dan kesehatan bagi seluruh rakyat.

Kalau hal ini masih juga menimbulkan kesenjangan yang tinggi, maka mekanisme selanjutnya adalah membagi hasil yang diperoleh lewat pemanfaatkan akses dan alat produksi tersebut melalui sistem distribusi berupa ZISKAF. Ini adalah mekanisme terakhir dalam mejamin pemerataan pendapatan karena setelah ini tidak ada lagi kemungkinan cara untuk memperkecil gap yang muncul. Mengingat ini adalah benteng terakhir, maka Allah SWT sangat menegaskan benteng ini berjalan dengan efektif melalui firman-Nya yang menyatakan kalau didalam harta orang kaya terdapat hak milik orang miskin yang harus diserahkan. Dasar keimanan yang mengharuskan orang melakukan kewajiban Zakat itu menjadi penguat bagi pelaksanaan perintah zakat ini, yaitu adanya kewajiban untuk patuh pada perintah-Nya dengan konsekuensi yang harus ditanggung sesuai dengan ajaran agama jika orang melanggarnya. Ini juga menjadi contoh jika ekonomi Syariah memiliki nilai -- nilai yang menjunjung keadilan sosial didalamnya ( Mannan, 1984 dalam M.Nur Rianto Al Arif, 2015, Ekonomi Syariah -- Teori dan Praktik, Bandung: Pustaka Setia ).

Dalam kasus Indonesia, potensi Zakat saja ( tidak termasuk Infaq, Sodaqoh dan Wakaf ) sangat besar dan kalau dikelola dengan baik maka akan dapat berperan nyata dalam memperkecil kesenjangan ekonomi. Irfan Syauki Beik dari Pusat studi Bisnis dan Ekonomi Syariah IPB melalui penelitiannya ( 2013 dalam Beik dan Arsyianti, 2016, Ekonomi Pembangunan Syariah, Jakarta: Rajawali Press ) menyimpulkan bahwa tanpa zakat, 40% kelompok termiskin hanya menikmati 18,10% pendapatan, sedangkan 20% kelompok orang terkaya menikmati 42,60% pendapatan. Sebaliknya dengan zakat, maka pendapatan 40% orang termiskin naik menjadi 20% dan pendapatan 20% orang terkaya menikmati 40,50% pendapatan. Artinya penerapan zakat terbukti dapat  lebih meratakan pendapatan sehingga memperkecil gap yang ada meski sedikit. Hal inipun merupakan suatu kewajaran mengingat zakat belum digalakkan dengan serius sehingga akumulasi modal zakat dan penerimanya tidak begitu besar.

Seharusnya dengan bertumbuhnya ekonomi, maka potensi zakat ini tentunya semakin membesar. Sayang bahwa potensi zakat ini tidak pernah dimaksimalkan sehingga potensinya terus menurun. Pada 2012 diperkirakan jumlah zakat yang dapat dikumpulkan jika dilakukan secara serius dan menyeluruh akan mencapai jumlah Rp.217 trilyun ( yang terdiri dari potensi zakat yang berasal dari perusahaan non-BUMN sebesar Rp.114 trilyun, BUMN Rp.2,4 trilyun, zakat dari penghasilan rumah tangga atau profesi sebesar Rp.82,7 trilyun dan sisanya potensi zakat tabungan ), sedangkan kenyataannya saat itu yang mampu dikumpulkan hanyalah sebanyak Rp.2,2 trilyun (Beik dan Arsyianti, 2016 ). Adapun pada 2016, tercatat jumlah zakat yang masuk sebesar Rp 5 triliun dan ini juga hanya 1 persen dari potensi zakat di Indonesia. Alokasi penyaluran zakat sendiri juga perlu diperhatikan lebih lanjut mengingat hanya 35% dana zakat yang disalurkan dalam program produktif seperti modal usaha, sisanya untuk kebutuhan konsumtif yang bersifat jangka pendek seperti bantuan sembako (Beik dan Arsyianti, 2016 ).

Keadilan distributif yang diwujudkan dalam bentuk ZISKAF ini sesungguhnya menjamin kestabilan masyarakat sehingga timbul keamanan yang membuat orang mampu melakukan kegiatan ekonominya semaksimal mungkin dan memperoleh keuntungan yang selanjutnya disisihkan dalam bentuk ZISKAF. Melihat lingkaran kejadian diatas, wajar kalau ekonomi Syariah berpotensi dalam menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan pemerataan pendapatan.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun