Mohon tunggu...
Ade  Mahniar
Ade Mahniar Mohon Tunggu... Freelancer - Pecahan Biasa

Penikmat sastra dan aroma pensil warna. Sedang dekat dengan mate[MATI]ka. Enthusiast in Educational Technology.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Matematika dan Islam Nusantara

8 Juni 2019   14:07 Diperbarui: 6 Juli 2020   21:47 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Libur lebaran kali ini saya sengaja menonaktifkan akun media sosial dan meluangkan banyak waktu bersantai di rumah sambil membaca literatur tentang model pembelajaran skripsi saya yaitu Meaningful Instructional Design (MID). Terkait matematika, model MID ini hampir mirip salah satu komponen yang sama dengan Realistic Mathematics Education (RME). Inti pembelajarannya adalah mengaplikasikan matematika agar dapat dimaknai penerapannya berdasarkan konteks kedaerahan, sosial, politik, budaya, hingga geografi pada waktu dan tempat tertentu.

Sejauh ini ada banyak penelitian yang mengembangkan sebuah alternatif pembelajaran matematika yang "meaningful" dengan meng-fungsikan struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman otentik sebagai orang Indonesia. Kultur di Indonesia tentu berbeda dengan Kultur di Negara lain. Kalau belajar matematika umumnya kita diperkenalkan dengan geometri melalui gambar dan cerita tentang pyramid di Arab atau bentuk geometri yang ada di Eropa, nah dengan pendekatan realistik-kontesktual kita bisa belajar geometri dari beragam motif batik yang sering kita pakai setiap pekan di sekolah, melalui bangunan tradisional-historikal Indonesia, kostum tarian Kabasaran di Minahasa, hingga Benteng Moraya di Tondano.

Pendekatan pembelajaran antara daerah di Indonesia saja akan muncul banyak perbedaan, seperti persoalan "skala dan jarak" tidak harus melulu diasosiasikan dengan cerita naik kereta di pulau yang belum ada transportasi kereta (red;sulawesi) dan beragam pendekatan realistik lainnya yang bisa dijadikan konteks pembelajaran. Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh dan tentunya akan lebih mudah dipahami siswa Indonesia karena belajar Matematika dengan cita rasa Nusantara alias Matematika NUSANTARA.

Dari Matematika Nusantara hingga Islam Nusantara

Dengan kata kunci yang sama yaitu "penerapan kontekstual" dan sedikit "babongkar" di media secara random, saya menemukan artikel tanggal 25 Mei 2018 di salah satu media yang membahas seputar jilbab Muhammadiyah jaman dulu. Ditulis sangat epik oleh Pak Mu'arif dengan menghadirkan penafsiran atas data historis pembanding untuk memberikan perspektif lain terhadap perbedaan pendapat sesama kader Muhammadiyah mengenai bentuk kerudung jaman dulu. Satu hal yang membuat saya tertarik adalah program wajib berkerudung bagi anggota Aisyiyah pada zaman kepemimpinan K.H Ahmad Dahlan bisa melahirkan budaya unik yang disebut "Kudung Aisyiyah" dan kemudian populer dikenal sebagai "Songket Kauman".

Sama halnya dengan makna matematika realistik, songket kauman dapat dimaknai sebagai penerapan hijab dalam konteks budaya Jawa pada waktu itu. Kata pak Mu'arif selaras dengan konteks dakwah Muhammadiyah, konsep "Songket Kauman" dapat dipahami sebagai bentuk dakwah kultural yang bersifat kontinu, tidak boleh terputus, dan bertujuan untuk mengubah budaya yang tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Soal dakwah kultural dan Islam Nusantara, saya jadi teringat dengan beragam tulisan yang pernah saya baca, juga dalam forum diskusi yang tak pernah habis perdebatan atasnya. Sayang, persoalan semacam ini lebih banyak dibahas oleh mahasiswa "takage" seperti saya sedangkal meperdebatkan antara ayam atau telur siapa yang duluan lahir, atau semudah membenturkan pilihan daripada zina mending nikah muda. Ekhuu.

Ippho Santoso dalam bukunya "Hanya Dua Menit Anda Bisa Tahu Potensi Rezeki Anda" menyisipkan beberapa kisah Wali Songo yang alih-alih menyebarkan Agama Islam "toook" lewat budaya arab, para wali memulainya lewat pendekatan budaya Indonesia. Contohnya istilah "sembahyang" yang di asosiasikan dengan ritual menyembah "hyang" sebutan Tuhan/Dewa agama Hindu. Lalu yasinan, ziarah kubur, kerudung, dsb yang dapat dipahami sebagai strategi dakwah para Wali.

Ketika Islam yang masih asing di kehidupan orang indonesia dulu, jangan berkhayal terlalu tinggi untuk langsung membuat program wajib berjilbab dalam bentuk pakaian burqa atau niqab. Pasti sulit! Orang manado bilang: "ja injang tanah sadiki, ngana"  tentu butuh proses bertahap bagi para Wali dalam mengenalkan Islam di Nusantara. Dalam proses itu dibutuhkan sebuah alternatif pendekatan dan strategi yang beragam. Kalau zaman now, tentu kita sudah tidak asing lagi dengan istilah dakwah kultural dan Islam Nusantara, bukan? Maka saya juga ingin menyebut konsep pembelajaran matematika di atas dengan istilah “Matematika Nusantara”:)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun