Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kata-kata Tak Elok, Cerminan Bangsa?

3 Desember 2015   12:40 Diperbarui: 3 Desember 2015   22:50 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo (Presiden Joko Widodo (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)

Saya pernah melihat dan mendengar sendiri di Surabaya, seorang anak 6 tahun berteriak: Umar bedes (monyet), Umar bedes. Dan pak Umar ternyata ayahnya sendiri. Saya bilang: Mas Umar kenapa anak itu tidak dirotan sekali kali, supaya kapok? Selengkapnya baca di sini

Dalam salah satu artikel saya ada komen dari rekan K-ers, Bapak Sampun Sepuh Sanget seperti di atas, anak kecil kog begitu. Tidak heran menyaksikan apa yang terjadi hari-hari ini, dan sejauh pilpres lalu.

Makin hari makin banyak kosakata yang keluar sangat tidak elok bagi dan oleh para petinggi negeri. Ungkapan Jawa mengatakan ajining dhiri saka lathi, harga diri itu tergantung ucapan bibir. Entah mengapa bangsa yang katanya adiluhung, berbudaya tinggi, dan kaya akan budaya itu, saat ini seperti itu. Berbeda sebagai musuh. Umpatan menjadi bagian tak terpisahkan dalam kalimat dan kata-kata normal.

Sinting. Hanya untuk memberikan reaksi atas sebuah ide. Mengapa kalau kata untuk ungkapan tidak bermakna mencela tidak diganti yang lain, dan itu petinggi negeri, meski mengaku dagelan warung kopi. Entah kalau warung kopi yang biasa ditongkrongi sekelas begitu.

Bodoh. Ini juga keluar dari petinggi negeri untuk yang lebih tinggi, dan tidak ada masalah, berbeda ketika pejabat dikatakan oleh “orang biasa” menjadi meradang dan berkepanjangan. Berapa kali saja pejabat mengatakan untuk kebijakan presiden seperti itu. Dan seolah biasa saja dan tidak merasa itu buruk.

Sarap. Ini memang forum privat yang terangkat ke publik. Mengatakan seorang presiden yang tidak disukai dengan sarap. Sarap itu bisa diterjemahkan sebagai gila secara luas, karena sarap terganggu maka gila. Memang ini berlebihan namun tidak ketika konteks itu dipahami secara utuh, siapa dia, kekuatan apa, sarap dia melawan....

Keras kepala, ungkapan untuk menunjukkan kejengkelan karena ketidakberdayaan selama in bebas dan terganggu kepentingannya. Seorang pejabat berbicara begitu, bukan dalam nada positif namun gerutuan yang amat sangat jengkel karena mainannya diserobot saja.

Plintat plintut, ini forum resmi anak-anak dengar pendapat dengan menteri. Dan anggota dewan mengatakan hal ini untuk seorang menteri. Luar biasanya sang anggota dewan ini bisa mengatakan orang lain begitu, sedangkan dia belum terdengar prestasi selaku pribadi.

Mengerikan apa yang diperdengarkan itu bagi negara seperti kata Pak Pramono Anung. Menurut saya jauh lebih menakutkan dan mengerikan bagaimana anak-anak pun disuguhi pembicaraan-pembicaraan kasar bukan semata keras seperti itu. Belum lagi tuduhan-tuduhan demi kepentingan sekelompok orang. Bagaimana anak-anak akan bisa menghargai orang tua, ketika menyaksikan kebiasaan pejabat seperti itu. Tidak heran kalau anak ngelunjak karena tontonan dan media menyajikan keadaan demikian.

Penghormatan dan sikap menghargai itu hanya bisa sepanjang kita juga mengukur ke dalam diri sendiri. Bagaimana apakah mau ketika aku dikatakan demikian? Acap, kita tidak melakukan saja diberi jawaban yang menyakitkan dan tidak elok begitu. Bahasa memang masuk ranah rasa dan budaya menentukan juga bagaimana itu dipahami. Namun tentu ada standar bersama dan umum bahwa semua di atas tentu tidak wajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun