Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memilih Itu Harus Satu Tidak Boleh Dua, Sensinya Perpolitikan Nasional

17 Februari 2019   11:27 Diperbarui: 17 Februari 2019   11:59 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemarin ada rekan yang mengirimkan link sebagai berikut; @begkeldodo

Isinya adalah seorang imam-pastor-pater-rama sedang becanda bahwa KPU itu memerintahkan memilih itu harus satu tidak boleh dua. Kalau dua tidak boleh. Itu saja, nada jelas mengatakan kalau pastor itu mengatakan peraturan KPU itu memilih tidak boleh dua, harus satu. Dua pilihan itu tidak sah, yang sah adalah satu. Ia juga mengatakan tidak akan ditangkap oleh Bawaslu karena tidak mengarahkan, namun mengatakan peraturan KPU.

Melihat dan mendengarkan nada bicara dan umat-audien yang tertawa terbahak-bahak, nada ini jauh lebih banyak unsur becanda dan olok-olokan, daripada sebentuk kampanye terselubung ataupun terang-terangan.

Sangat kecil kemungkinan, bahwa imam Gereja Katolik, ada di dalam konteks merayakan Ekaristi namun "berkampanye" meskipun penggalan film hanya seperti yang saya tuliskan garis besar itu. Justru bahaya adalah narasi, yang mengatakan memiliki tugas mulia, lebih baik jadi juru kampanye saja.

Sensitifitas atas Rivalitas.

Suka atau tidak, berat hati atau dengan suka rela, pilihan kali ini identik dengan pilpres 2014. Dengan dua pasang hanya berganti pada posisi calon wakil membuat keadaan tidak lebih sejuk dari lima tahun lalu. Belum lagi perilaku ugal-ugalan sepanjang pemerintahan kini. Polarisasi yang semakin mengental dna menguat apalagi dengan pilkada DKI 2017 lalu, menjadikan pilpres kali ini lebih sensitif karena rivalitas yang demikian kuat.

Satu sisi berbuat ini kubu lain akan membuat itu, kelompok ini begitu, akan direspon demikian. Hal yang cukup memprihatinkan jika menilik kondisi hingga hari ini hal yang lebih cerdas, bermartabat, dna berkualitas kog belum memberikan tanda-tanda ada. Masih berkutat dengan saling intip kelemahan pihak lain yang kemudian digoreng atau bahasa kerennya diekspoloitasi. Apa iya akan demikian terus menerus bangsa ini?

Berkaca dari sepenggal film dalam media sosial tersebut. Normatif kog khotbah dengan lelucon, ilustrasi untuk  menarik perhatian dari pendengar atau umat itu. kalau kotbah tanpa ada guyonan akan garing dan membuat ngantuk. Upaya menarik dengan adanya joke itu sebuah upaya.

Berbeda, jika si pastor tadi mengatakan, pilihlah paslon nomor 01 dan jangan 02, atau pilih pasangan Jkw-KHMA, jangan pasangan lain, itu jelas kampanye sesuai narasi yang menyertai film itu dan bukan semata-mata khotbah. Sangat simpel yang ada, jika mau jernih berkaca sebagai umat yang ada di sana. Berbeda jika memang upaya untuk menjatuhkan pihak-pihak tertentu.

Jika pun Bawaslu panas tangan dan kuping dan kemudian memanggil si pastor, akan saya pastikan dibuat terpingkal-pingkal kecut dan malu. Pastor itu tidak akan goblok, gegabah, apalagi mengenakan pakaian lengkap sebagai seorang imam, dengan segala jabatan dan tugasnya. Konteksnya pun jelas sedang menyelenggaran Misa. Ini pelanggaran mendasar sebagai seorang pastor melakukan kampanye.

Jadi ingat 2016 lampau, ketika ada pembicaraan senada, ada dalam artikel berikut

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun