Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kisah Selang RSCM dan Pemerintah Berkesinambungan, Tabok Air Terpecik Muka Sendiri

6 Januari 2019   09:00 Diperbarui: 6 Januari 2019   09:29 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menarik akhir tahun disuguhi pernyataan menggelitik. Awalnya sih mengatakan kritik bagi penyediaan dan pertanggung jawaban kesehatan oleh pemerintah bagi rakyatnya. Cukup banyak hal yang bisa ditelisik lebih jauh dengan pernyataan tersebut. Bagaimana melibatkan RSCM, BPJS, dan muaranya adalah pemerintah.

RSCM dengan selang itu hanya titik point untuk mengritik BPJS dan ujungnya adalah pemaerintah. Cukup menggelitik cara pandang model calon pemimpin jika demikian. Mengapa?  BJS itu bukan tiba-tiba ada oleh pemerintahan kali ini, sudah lama, dan itu juga terlibat di dalam kebersamaan yang mengatakan bagaimana "buruknya" kinerja BPJS dan akhirnya RSCM. Intinya bukan RSCM dengan tunjangan BPJS, tapi pemerintah, khususnya Jokowi.

Pemerintahan itu berkelanajutan. Salah besar sebenarnya mengatakan mantan presiden, jika demikian, ini sudah berkali ulangg saya jadikan ulasan, orang bisa menyalahkan presiden dan pemerintahan sebelumnya, atau si presiden lama bisa merasa tidak terlibat di dalam keadaan selanjutnya.

Mirisnya kalau baik merasa ikut terlibat namun kalau buruk hanya menuding pihak lain. Presiden lampau cuci tangan jika masalah, namun jika prestasi merasa ikut andil. Pun presiden sedang menjalankan roda pemerintahan bisa menuding kegagalan adalah pihak sebelumnya, jika sukses itu karyanya sendiri. Salah besar.

Program jalinan sosial ini rangkaian panjang oleh pemerintahan negeri ini. Ada peran SBY baik sukses aau gagal, sama juga KTP-el, kekacauan toh di awal, di masa siapa hayo? Pun jika defisit di dalam pengelolaan BPJS apa iya hanya pemerintahan saat ini saja? Toh pola perilaku, tabiat anak bangsa itu terbentuk sangat lama.

Nyinyiran untuk BPJS ini sejatinya hanya perasaan iri, dengki, dan tidak terima mengapa yang dapat "kesuksesan" dan memperoleh point baiknya pemerintahan sekarang. Sekali lagi ini karena paradigma, pola pikir, dan kebiasaan lama di mana melihat pemerintahankulah yang paling hebat, padahal tidak demikian. Ingat prestasi, mercusuar itu akan dikenang meskipun tidak akan berteriak-teriak untuk diakui. Tetap ada peran yang telah meletakan pondasi.

Capres yang teriak-teriak bahwa pemerintah ini gagal, apapun dilabeli dengan gagal juga snagat menakutkan jika diberi kepercayaan. Mengapa? Orang model ini takut bayang-bayang. Jadi model pemerintahan sapu bersih era lalu, karena takut kalah bersinar. Lihat pemerintahan Jakarta yang merusak apa yang sudah baik, hanya karena memang tidak mau terlihat tidak bisa.

Fokusnya hanya yang penting adalah aku, keakuan, di mana kemegahan pribadi sendiri yang menjadi tolok ukur kesuksesan. Mirisnya adalah dengan merusak hasil, produk, dan gagasan baik karena merasa bisa tenggelam kebesaran dirinya. Ini sejatinya menunjukkan jiwa kerdil dan manusia lemah yang merangsek demi eksistensi diri sendiri, bukan berpikir soal negara dan rakyat.

Selang untuk hemodialis yang receh itu dimanfaatkan untuk menyerang kubu rival yang susah dihentikan reputasinya yang makin naik. Kinerja dan prestasi yang memang dirancang, dilakukan, dan dijalani dengan sepenuh hati. Fatalnya adalah selang itu hanya receh yang hendak dipakai untuk mengeruk keuntungan pribadi. Padahal gaya hidupnya saja jauh dari keprihatinan yang ia nyatakan.

Apa yang ia katakan dan apa yang ia lakukan itu jelas bertolak belakang. Seorang pemimpin, calon pemimpin, dan maju menawarkan diri jadi pemimpin, namun masih beda antara ucapan dan tindakan. Bung Karno yang ia jadikan tipologi dalam berpakaian dan cara berorasi itu mengatakan pemimpin itu satu di dalam perkataan dan perbuatan. Ternyata masih duplikasi label bukan isi. Jadi tahu sendiri kualitasnya bukan?

SBY sebagai sesepuh, pepunden karena selalu yang ia dengungkan sukses dua kali pemilihan itu, harusnya bisa memberikan nasihat, wejangan bijak, dan peringatan jika rekannya yang gantian mau menikmati kekuasaan itu melenceng. Namun nyatanya ia sendiri gagal mengatasi post power syndrome-nya. Apa yang ia katakan sering adalah pemimpin yang merasa takut kalah moncer, takut penggantinya lebih sukses, dan takut ia dilupakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun