Beberapa hari lalu, ada hasil kota toleran dan intoleran di Indonesia, sepuluh tertoleran dan sepuluh paling intoleran. Ada yang cukup menarik, di mana beberapa tahun lalu hanya Salatiga yang mewakili Jawa sebagai kota toleran, kini ada kota baru, Surabaya yang masuk. Lebih inspiratif, ketika Ambon yang sempat lama terkoyak perselisihan dengan dalih agama ini masuk kota toleran di Indonesia.
Jadi ingat dalam sebuah komentar dari artikel mengenai toleransi, seorang Kompasianer mengatakan, hanya minoritas yang suka Pancasila dan toleransi dan seterusnya.... Pas dengan rilis sebuah LSM ini, ternyata toleransi dipahami paling tidak oleh seorang Kner tersebut sebagai sarana keluar dari "tekanan" karena sedikit, kecil, dan merasa di tengah yang banyak dan kalangan besar. Padahal tidak demikian.
Toleransi itu sikap batin, mau kecil, mau besar, dan mau dominan atau tidak bukan menjadi pertimbangan. Adanya perasaan sebangsa dan setanah air itu bukan soal banyak atau sedikit. Apa yang dinyatakan tersebut menurut hemat saya adalah ungkapan pribadi yang ia yakini dan dinyatakan sebagai gebyah uyah, menjadi pola pikir yang sama bagi semua orang. Tidak demikian, menghormati perbedaan itu bukan soal menang kalah, banyak sedikit, namun batin yang memang penuh kasih.
Politik identitas
Sejatinya bukan masalah agama dan toleransi yang menjadi persoalan, namun haus kekuasaan yang lebih dominan. Pemanfaatan identitas, bisa ras, bisa pula agama, dan itu dijadikan tunggangan di dalam meraih kekuasaan. Orientasi dan pusatnya bukan pada agama atau rasnya, namun  menggunakan itu untuk mendapatkan kekuasaan.
Sensitifitas atas ras dan agama yang masih tinggi, di manfaatkan politikus miskin prestasi untuk menaikan popularitas sesaat. Ingat hanya soal kursi, bukan agama ataupun ras. Salah satu bukti konkret ya jelas pilkada DKI, dan dua kali pilpres hal ini juga terjadi cukup masif.
Miris ketika ibu kota negara, gerbang atas bangsa, dan penduduknya yang amat multikultural itu malah menjadi kota yang intoleran. Bagaimana Jakarta yang dihuni orang Sabang sampai Merauke namun ternyata termasuk kota yang tidak toleran. Kalah dengan daerah yang swjatinya perlu belajar dari Jakarta.
Jakarta selain penduduknya sangat beragam, pengetahuan, bekal dalam banyak hal harusnya Jakarta lebih maju, modern, dan memahami perbedaan sebagai hal yang wajar. Cukup aneh sebenarnya jika Jakarta yang level megapolitan malah pola pikirnya seperti di tengah hutan. Penduduk dekat hutan  wajar, masih bisa dimengerti,  jika tidak mudah menerima perbedaan, mendapatkan kehadiran yang baru, karena memang sangat terbatas dalam banyak hal mereka.
Mementingkan Label daripada Konten
Entah dari mana harus dimulai, bagaimana orang Indonesia ini lebih menyukai persamaan label daripada isi. Lebih suka sama dalam kemasan dan yang artifisial daripada kesamaan ide dan gagasan, namun berbeda baju. Lihat saja bagaimana di dalam hidup bersama ketika koruptor yang sama dengan maling ayam itu jadi mendadak alim dan berbaju khas agama tertentu, harusnya mereka dikutuk sebagai penista agama, namun toh tidak juga. Berbeda jika ada artis berpindah keyakinan, tanpa mau tahu latar belakangnya, hujatan langsung saja menjadi santapan empuk.
Campur aduk kepentingan dan di dalamnya termasuk agama. Pemimpin itu tidak ada kaitannya dengan agama. Namun kembali karena politik identitas, untuk menyingkirkan rival potensial yang kebetulan label berbeda, paling mudah adalah penggunaan sentimen SARA ini. Pun dalam  olah raga, seleksi ini dan itu, pernah juga terjadi agama menjadi pertimbangan. Identik dengan komentar di Kompasiana juga, pemenang Knival 2016, ada yang komentar mengapa banyak Nonmuslim yang menang. Apa kaitan agama dengan aktivitas menulis coba?