Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komunikasi dalam Keluarga dan Tantangannya

19 Juni 2018   08:31 Diperbarui: 19 Juni 2018   09:10 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Komunikasi dalam keluarga dan tantangannya, saya  menulis ini berdasar kisah dan melihat fenomena yang ada. Jangan nanti dikatakan dirinya belum berkeluarga menulis soal keluarga. Jika demikian, siapa dong yang berbicara soal kematian? Dokter juga berbusa-busa menulis, seminar kesehatan, mereka juga tidak mengalami sakit yang mendera mereka.  Memang bahwa yang dikatakan bukan pengalaman personal dialami, yang didengar, dilihat, dan bisa juga terlibat secara tidak langsung.

Persoalan makin pelik dengan kemajuan dunia teknologi, bagaimana media sosial dan media informasi demikian masif, membongkar semua sekat dan segi privat dan personal. Semua hilang seolah tidak ada. Benteng yang sangat mungkin hanya diri dan nurani sendiri.  Dan itu pun proses panjang yang tidak bisa sekali jadi. Keasyikan dengan gadget, bisa menjadi bencana pula jika tidak sadar dengan semua hal.

Kemajuan ini pun mau tidak mau, suka atau tidak, menghubungkan dengan banyak hal. Masa lalu terutama. Memang berkaitan dengan masa depan masih aman karena belum ada akses ke sana.  Hati-hati dan peringatan cukup kuat bahwa ada potensi bahaya juga.

Komunikasi, terutama pasangan suami istri, sering saling mengandaikan. Mengandaikan pasangan yang sehati, cinta yang akan menjadi jembatan. Pasangan itu bukan dukun.  Memang kadang, cinta bisa membuat intuisi menjadi tajam, jadi mengerti apa yang dimaui pasangan dengan baik. Namun intuisi itu perlu kejernihan hati dan jiwa. Ketika suka cita cinta masih tebal, intuisi sering tepat, namun jika sepuluh, dua puluh tahun pernikahan? Masih sama, atau berkurang. Nah jujur saja di sini biasanya masalah muncul.

Relasi masa lalu, dan romantismenya dunia maya. Hati-hati jika ada masalah, jangan mengingat masa lalu, jauh lebih baik jika memang mau berbagi pada orang di masa lalu yang tanpa kenangan. Mengapa? Susah berharap romantisme masa lalu mengubah keadaan makin baik. Celaka iya, malah mengulang kisah lama, yang sejatinya ilusi.

Yang baik dan indah yang terkenang, soal yang buruk tertutupi,  karean buruknya ada pada pasangan. Memang ada yang bisa membantu, namun lebih baik, hati-hati saja, daripada melebar. Misalnya soal biasa malah menjadi adanya idaman lain. klasik sekali.

Pernikahan itu konsep idealnya adalah penyatuan dua keluarga besar. Jadi tidak hanya sepasang laki-perempuan, meskipun tetap centrumnya mereka berdua. Jika kedua keluarga besar jadi hambatan, bukan berarti kiamat. Hati-hati juga, jangan apa-apa melibatkan diri atau memasukkan keluarga besar dalam masalah rumah tangga. Sering dan tidak kalah klasiknya hal demikian. Kadang  yang punya masalah sudah mesra lagi, keluarga besar masih jengkel. Bijak di dalam menyelesaikan dan keterlibatan dalam masalah keluarga.

Komunikasi di antara pribadi yang jelas berbeda, laki-laki dan perempuan, sering terjadi kesalahpahaman. Jelas saja iya, laki-laki dan perempuan itu berbeda kog.  Sekali lagi sering andalan datang, cinta akan menyelesaikannya, omong kosong jika semua berangkat dengan pola pikir sendiri dan bukan saling mengerti dan memahami. Keakuan yang perlu dilebur menjadi kami di dalam membangun keluarga.

Berkaitan dengan perbedaan pola pikir, pola tindak, dan segala hal ikhwal laki-laki dan perempuan, egoisme dan sikap untuk menjadi yang sering belum ada perubahan, antara singel dan berpasangan. Ada sikap saling menyesuaikan, mengalah demi menemukan sinergitas. Jika semua ingin memang, ya sampai lebaran kuda tidak akan ketemu. Rel kereta yang ada, pada sisi yang sama terus tanpa pernah ada titik temu.

Mengalah itu tidak mesti kalah, tetapi bisa juga mengalah itu menjadi bencana, jika tidak ada kesesuai pola pikir sejak awal.  Hal ini tidak akan ada sekolahnya, tidak ada pengajar yang paling mujarab selain diri sendiri. Hati nurani yang jernih bisa menjadi penghubung yang istimewa jika mau saling terbuka dan mau saling memberikan diri. Di sini pokok keberanian melangkah dalam keluarga. Sikap memberikan diri, artinya jelas tidak akan menang dalam arti menguasai.

Pemberian diri sepanjang ada kasih yang menjadi pedoman. Pengampunan itu sepanjang ia merasa telah mendapatkan kasih, susah berbicara pengampunan, jika penuh keirian, kecemburuan, dan merasa tidak pernah salah. Padahal sering masalah itu timbul karena selalu merasa jadi korban, padahal juga tidak jarang jadi pelaku kog. Ketersalingan di dalam menyebabkan masalah ini yang perlu disadari dan dijadikan sarana memberikan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun