Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

M. Salah, Firaun, dan Berhala Abad Ini serta Hidup Beragama

18 Juni 2018   15:00 Diperbarui: 18 Juni 2018   15:19 1309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
readliverpoolfc.com

M. Salah, Firaun, dan berhala abad ini,  hampir saja "tercipta". Patut "diapresiasi" aksi tidak patut, tidak sportif, dan relatif kasar yang dilakuan pemain belakang Real Madrid di final ULC beberapa waktu lalu. Cidera yang cukup parah, namun memberikan dampak positif bagi  hidup beragama terutama bangsa ini.  

Kesamaan label namun bisa menjadi bumerang di tangan masyarakat inferior, yang bangga akan kesamaan label, namun sejatinya tidak berkaitan sama sekali dengan apa yang sepatutnya diapresiasi. Sikap melebar, berlebihan, dan tidak pada porsinya, dan ketika mendapatkan masukan akan juga jelas melebar. Soal logika nanti dulu, yang penting ngamuk dulu, mencela dulu, dan merasa diperlakukan dengan nista, tidak adil, dan seterunya dan seterusnya.

M. Salah yang tidak salah, tidak ada yang salah dengan capaian, permainan, dan religiusitas seorang pemain depan dari negeri Firaun ini. Yang ada persoalan itu cara beragama dan cara memahami labeling pada sebagian bangsa ini.

Firaun merasa diri lebih dari orang lain yang dinilainya biasa saja. Ia menasbihkan diri sebagai bagian yang agung, yang transenden, dan yang kuasa. Firaun merasa sebagai yang terberkati, tidak bisa salah, dan orang lain memerlukan dirinya bagi hidup yang lebih baik, eit jangan sensi dan marah dulu, bukan hendak menyalahkan Si Salah yang bernama salah ini, namun justru pihak-pihak tertentu yang bisa saja jatuh memfiraunkan, menjadikan Salah sebagai berhala, dan lepas nalar ketika menyematkan lebeling secara berlebihan dan tidak proporsional.

Salah tentu tidak ada yang salah dengan capaiannya bersama Liverpool, namun bisa menjadi penyebab kesesatan, bukan seperti Firaun yang mengklaim dirinya seolah yang agung, yang transenden, dan seterunya itu, namun karena sikap inferior sebagian pihak yang mabuk agama di sini bisa menjadi berabe.

Sikap inferorior, inlander ala Belanda, dan sikap kecil yang berlebihan, meskipun memegang android, berotak intel sekalipun, berbicara bak kitab suci dan kamus berjalan, akan tetap membutuhkan cantholan, labeling yang lebih besar dan sama sebagai penggagah diri yang membuatnya merasa besar dan setara.

Sikap yang selayaknya tidak disandang lagi, sebagai bangsa pengguna medsos termasuk kalangan terbesar di dunia, bangsa merdeka hampir abad lamanya, dan bangsa pembangun Borobudur yang tiada duanya. Coba bayangkan Amrik saja tidak punya kegagahan Borobudur, Arab Saudi  pun tidak memiliki itu, China pun tidak, apalagi yang membuat diri harus merasa bagian utuh dari label yang sama sekali tidak berkaitan. 

Coba juga lihat kalau ada pertandingan besar semisal el classico, haduh seolah ikut serta di dalamnya, padahal hanya melihat dan apa mereka juga paham, kalau sampai ada ribut-ribut. Disebut dalam media sosial tertentu, karena pesohor sudah girang alang kepalang, padahal bisa saja urusannya promosi.

Tentu saja kagum itu boleh saja, mengidolakan seseorang itu bagus, dan bahkan dalam arti tertentu bermanfaat, apalagi bagi tumbuh kembang kejiwaan anak. Menjadi persoalan adalah ketika  menerjemahkan idola itu sebagai yang sempurna, tidak boleh salah, tidak boleh disakiti (padahal kesakitan itu dalam batas-batas wajar), seolah melakukan pada sisi profesionalisme pun berkaitan dengan label yang sama, agama misalnya, atau suku yang sama.

Proporsi dan porsi yang sewajarnya. Mudahnya menyamakan label, membedakan berdasar label, dan menunjuk yang sama sebagai saudara, tidak pernah salah. Sebaliknya, jika berbeda berarti musuh, bisa dijadikan lawan dengan segala tetek bengeknya, padahal tidak mesti demikian. Sikap   memilah dan memilih hanya bisa jika dijiwai kedewasaan. Kebijaksanaan yang tidak akan membawa dan menyampuradukkan segala sesuatu dalam satu wadah yang bisa juga tidak sama, malah kacau.

Peran agama menjadi penting, sayang bahwa hidup beragama bangsa ini sebagian masih melihat sebagai baju, penampilan, dan luaran yang penting sama, glamour, gemerlap, dan kesamaan, pun keseragaman yang menjadi target. Agama sebagai jiwa, gaya hidup, dan sikap batin masih juga sebagian kecil dihayati anak bangsa ini. Miris lagi, kelompok yang telah menjiwai agama ini akan cenderung diam, sedang yang masih berkutat pada label ini banyak cakap dan sering beraksi melebihi agama itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun