Menggantung Impian di Dinding Kamar
Pagi yang sebetulnya cukup cerah saat Madden tiba di SMP Negeri 1 Habinsaran, sekitar 2 kilometer dari rumahnya. Nalurinya pun sontak tergoda halaman sekolah yang terhampar luas. Ia ingin bermain bola. Sebentar saja sebelum lonceng sekolah berbunyi. Apa daya, hobi itu harus tertahan menyusul ketatnya peraturan sekolah.
Apalagi saat itu, bahkan hingga kini SMP Negeri 1 Habinsaran belum dilengkapi fasilitas lapangan sepakbola. Maka wajar setiap perayaan 17 Agustus tiba, tim sepakbola sekolah Madden selalu kandas di tangan SMP Kartini, sekolah swasta tetangga yang sejak lama telah memanjakan muridnya dengan lapangan sepakbola.
Tetapi siapa sangka, tergerusnya kesempatan bermain sepakbola justru mengalihkan perhatian Madden ke meja belajar. Prestasi akademik Madden memang sudah terlihat sejak berseragam putih-merah di SD Inpres. Perlahan, prestasi itu terus diasah saat sudah berseragam putih-biru.
Terlebih lagi, persaingan di SMP kian ketat menyusul jumlah siswa satu angkatan yang jauh lebih banyak ketimbang SD. Walau tak sukses menyabet juara umum, sepak terjang akademik yang dimiliki Madden tetap masuk dalam radar ancaman teman-teman seangkatannya.
Hingga tiba suatu malam, berbekal kapur tulis berwarna putih yang sengaja "diamankan" dari ruangan kelas, ia menggoreskan sebuah impian di dinding kamar tidurnya. Madden menuliskan "ITB" merujuk nama sebuah kampus yang terletak ribuan kilometer dari Parsoburan. "Sejak SMP saya sudah bercita-cita ingin kuliah di ITB."