Mohon tunggu...
Sugi Siswiyanti
Sugi Siswiyanti Mohon Tunggu... Full Time Blogger - blogger lifestyle, content writer, writer

Menikmati hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Ibu

15 Mei 2017   05:20 Diperbarui: 15 Mei 2017   07:09 1491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Takbanyak kenangan manis yang kusimpan tentang ibu. Sebagian besar jejak yang tertinggal dalam ingatan tentang ibu adalah kebiasaan mengomel yang bagiku sangat menyebalkan. Takbanyak kenangan manis tentang perempuan yang telah bersusah payah melahirkanku puluhan tahun silam itu.

Kuakui, aku memang tidak dekat dengan ibu. Ingatan tentang kebersamaanku dengan ibu pun takbanyak. Bukan karena ibu sibuk bekerja, melainkan karena ibu lebih sering memarahiku ketimbang bersikap lembut seperti kisah-kisah tentang ibu yang sering kubaca.

Ada juga kenangan tentang betapa heroiknya ibuku saat aku sakit. Waktu itu aku duduk di kelas 2 SMP. Ibu menggendongku dari tempat praktik dokter sampai rumah karena aku takkuat berjalan. Kenapa ibu tidak memanggil becak waktu itu ya? Apakah karena ibu takpunya uang? Bisa jadi begitu karena ibu harus sangat cermat dan hemat mengelola keuangan setelah bapak meninggal saat aku duduk di kelas 1 SMP. Ingatan lain adalah saat ibu harus bersusah payah mengantar aku ke dokter waktu sakit bronchitisku kambuh. Kami harus naik turun angkutan umum dan melewati pasar yang becek juga ramai. Aku masih ingat ibu mengeluh karena harus mengalami perjalanan yang tidak nyaman. Kalau ingat itu, aku sangat berterima kasih pada ibu.

Jika kubuat perbandingan, kenangan tentang ibu lebih banyak tidak menyenangkan ketimbang sebaliknya. Sejak remaja, aku sering memberontak kepada ibu. Mengapa itu kulakukan? Karena ibu menikah lagi sepeninggal bapak. Itu hal yang wajar sebenarnya, tetapi bagiku tidak. Alasan utamanya karena bapak tiriku sudah beristri sebelumnya. Kedua kakakku dan adik tunggalku sebenarnya tidak setuju, tetapi mereka hanya diam dan tak berdaya dalam ketidaksetujuannya.

Pemberontakanku menimbulkan konflik antara aku dan ibu. Konflik yang membekas di hati hingga hari ini. Selain konflik yang disebabkan pernikahan ibu dan bapak tiriku, konflik-konflik lain muncul saat aku memilih sekolah dan melanjutkan kuliah. Mulanya ibu taksetuju dengan pilihan SMA-ku. Ibu pun taksetuju dengan pilihan perguruan tinggi negeri yang kuputuskan. Seiring berjalannya waktu dan kekerasan hatiku, akhirnya ibu menerima pilihanku. Perjuangan yang menguras energi, termasuk cucuran air mata saat aku keukeuh memilih sekolah dan perguruan tinggi tertentu sebagai tempatku menimba ilmu.

Ternyata perbedaan pendapat pun masih berlanjut pada keputusanku menikah saat kuliah. Ibu menentangnya. Namun akhirnya ibu melunak. Ibu mengizinkanku menikah setelah aku diwisuda. Ini sangat berbeda dengan ketetapan ibu sebelumnya. Semua anaknya boleh menikah jika sudah bekerja. Ternyata kegigihan bisa mengubah keputusan.

Seruwet apa pun konflikku dengan ibu, ibu takpernah meninggalkanku. Ibu selalu ada dalam setiap peristiwa kehidipan yang kualami meskipun tak terlibat secara spiritual. Maksudnya, ibu bukan tempatku mencurahkan semua keluh kesah saat kesulitan menimpaku. Ibu selalu ada membantuku,meringankan bebanku secara fisik dan itu sebenarnya pun sangat membantu.

Saat aku ada di masa transisi pasca perceraian. Ibu membantuku menjaga anakku yang masih balita; mengurus semua keperluannya karena aku harus bekerja di luar kota. Ibu takpernah melihatku menangis sedih dalam kondisi sesulit apa pun. Ibu hanya tahu aku sedang dalam kesulitan lalu ibu membantuku menyelesaikan urusan sehari-hari. Dan mengingat semuanya sekarang, aku sangat berterima kasih pada beliau.

Mungkin benar simpulan tentang hubungan antara ibu dan anak perempuan yang takpernah mulus. Selalu ada perbedaan, ada konflik, tapi saling membutuhkan. Hm..bukankah warna serupa juga dialami dalam hubungan antara ayah dan anak perempuannya, ibu dan anak laki-lakinya? Entahlah . . .

Di usiaku yang sudah semakin dewasa ini, aku semakin sering merenungi peran ibu dalam hidupku. Aku pun mengurai ingatan tentang ibu semasa kecil, remaja hingga dewasa. Banyak kenangan pahit tentang ibu yang sulit kuhapus karena beberapa kenangan itu menyebabkan kerumitan bagi keluarga kami juga -mungkin- kesedihan panjang di hati ibu saat ini. Namun, setelah begitu banyak hal yang ibu lakukan untukku, aku sangat menghargai ibu. Meskipun masih banyak ketidaksepakatanku terhadap keputusan-keputusan yang ibu buat, sudah waktunya aku memaklumi itu.

Usia ibu sudah kepala enam. Tak elok jika aku tetap keras kepala menentang beliau. Keinginan ibu agar kami tinggal di rumah sepeninggal bapak tiriku memang tidak serta-merta langsung kusetujui. Aku harus membicarakannya dengan suamiku. Sementara, cukup banyak juga ketidaksepakatannya terhadap keputusan-keputusan ibu. Aku sadar sudah bukan waktunya aku keras kepala seperti belasan tahun silam. Sudah waktunya aku memaklumi ibu dan menemani beliau di usianya yang sudah lanjut ini. Meskipun beliau masih super aktif, aku harus bersiap dengan kondisinya yang mungkin bisa menurun drastis kelak. Menemaninya dan merawatnya.

Membayangkan ibu kelak tak berdaya karena usia tuanya membuatku sedih dan ingin memeluknya . .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun