Mohon tunggu...
Penyair Amatir
Penyair Amatir Mohon Tunggu... Buruh - Profil

Pengasuh sekaligus budak di Instagram @penyair_amatir, mengisi waktu luang dengan mengajar di sekolah menengah dan bermain bola virtual, serta menyukai fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Cara Mengukur Kesedihan

17 Januari 2021   13:22 Diperbarui: 17 Januari 2021   13:49 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bagaimana cara mengukur kesedihan orang lain? Pertanyaan ini menghantui saya. Tepatnya setelah diskusi bersama anak-anak terkait puisinya Joko Pinurbo yang judulnya "Mampir" itu.

Memang bagaimana sih bunyi puisinya? Oke, ketimbang kamu membutuhkan energi untuk melacaknya di internet, nih saya tunjukkan.

...
Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani melongoknya.

2002
....

Puisi ini saya tunjukkan di awal pembelajaran. Sebagai ritual literasi yang saya modifikasi sedemikian rupa.

Walau virtual, tak ada alasan untuk menanggalkan aktivitas ini. Meskipun harus saya akui, tidak segirang saat tatap muka. Untuk kegirangan tersebut, biarlah lain kali saya udar di tulisan lainnya.

Lalu dimulailah apresiasi terhadap puisi itu. Kira-kira, apasih penafsiran mereka terhadap puisinya Joko Pinurbo yang menggemaskan itu?

Saya panggil sesuka hati. Lalu saya suruh mereka menyalakan video dan suara. Selanjutnya mereka saya beri kesempatan untuk menjawab sebingung-bingungnya. Begitu seterusnya sampai tua. Heuehu.

Minus IPA 4 dan kelas IPS, saya telah merangkum jawaban anak-anak tercinta dalam empat kluster. Saya pakai "kluster" karena istilah ini lagi naik daun.

TIDAK TAHU

Kluster pertama berisi jawaban yang bila saya rangkum itu bunyinya seperi sub judul tersebut. Tidak tahu. Jadi mereka tidak berhasil (atau tidak mau berhasil) menemukan ucapan yang tepat untuk mencerna puisi tersebut. Tentu saya tidak melarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun