Mohon tunggu...
Alit Teja Kepakisan
Alit Teja Kepakisan Mohon Tunggu... Penulis di KOPPI

Menulislah dan tetap berpikir!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menanti PSI

23 Juni 2025   16:37 Diperbarui: 23 Juni 2025   16:37 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"You can have great leadership but unless that leads to institution building, the great leadership won't last,"

- James Robison, penulis buku Why Nations Fail -

Satu kesalahan dalam sebuah kelembagaan atau organisasi adalah ketika mereka mengkultuskan individu dibanding membangun sistem berbasis kepada institusi atau ideologi. Namun, sebagaimana percakapan ideologi, tampaknya muskil terjadi yang namanya perdebatan ideologi keras di era ini, atau mengharapkan lagi apa yang terjadi pada kerasnya ideologi partai pada Pemilu 1955, ditambah dengan pragmatisme Orde Baru yang menjadikan partai sebagai sebuah 'stempel' Pemerintah.

Kesalahan ini bisa kita lihat kepada PSI (Bukan Partai Sosialis Indonesia, tapi Partai Solidaritas Indonesia). Kesalahannya adalah mengkultuskan personal seorang Jokowi, terutama saat masih menjadi Presiden. Padahal, kita tahu sendiri, sebuah negara demokrasi itu siklus kepemimpinan itu pasti terjadi. Hanya saja, masihnya atau ramainya euforia Jokowi dikarenakan masih ada karena jarak dilantiknya Prabowo -- Gibran, ditambah juga adanya keinginan dari pihak ABJ (Asal Bukan Jokowi) yang ribut soal ijazah.

Oleh karena itu, akrobat ini akan tidak "keberlanjutan" apabila nanti kasus gugatan ini selesai dan 2029 yang bisa terbilang relatif jauh, maka sebenarnya akrobat ini harus memiliki sebuah panggung bernama partai. Tentunya, partai apa? Kan itu menjadi pertanyaannya, maka yang jelas menurut saya adalah partai yang menganut "Jokowisme" adalah ya PSI. Lantas, apakah ada syarat dari partai yang mengaku "partainya Jokowi" ini?

Akrobat dan Organisasi Politik

Nah, sebenarnya PSI ini bisa kita baca dalam dua sudut pandang atau hipotesis : PSI butuh Jokowi, atau Jokowi butuh PSI? Kalau kita memilih salah satu disini, semua memiliki konsekuensi yang berbeda. Pertama, PSI butuh Jokowi, itu artinya PSI seperti kutipan sebelumnya yakni tidak memiliki institusi kelembagaan yang cukup kuat dan sangat bergantung pada Jokowi as a person? Sehingga, Kaesang dengan segala kontroversinya masuk PSI langsung jadi ketua umum adalah imperatif kategoris pada September 2023.

Atau, yang kedua yakni Jokowi butuh PSI. Dengan tidak bermaksud untuk merendahkan, hipotesis kedua ini sebenarnya tidak begitu layak untuk disebut. Sebab, toh PSI tidak berhasil masuk 5 besar Senayan, jangankan 5 besar, tembus saja tidak. Jadi, memperjuangkan PSI itu ibarat pepesan kosong sebenarnya, terutama mengaitkan Jokowi butuh PSI untuk ke 2029. Tetapi, hal ini bisa dibantah, apabila kita melihat kondisi bahwa ada partai pendukung Pemerintah misalnya Nasdem, yang masuk Senayan tapi tidak punya menteri. PSI punya, bahkan lebih dari satu mereka punya menteri atau wakil. Ini modal yang cukup sebenarnya dengan memiliki menteri.

Lebih bisa dilihat lagi, adanya kebutuhan 2029 dari sisi yang lain yakni infrastruktur organisasi. Namun, kalau ada yang mengatakan relasi Jokowi, PSI dan kepentingan 2029 terlalu dini, menurut saya mereka belum berkaca pada apa yang terjadi pada Nasdem di 2019. Saat itu baru saja MK mengumumkan hasil Pilpres 2019, langsung ada poros Teuku Umar dan Gondangdia, yang berimplikasi pada mesranya Nasdem dan PKS ditambah Anies Baswedan. Akhirnya, meski Surya Paloh pada Kongres Nasdem atau HUT Nasdem pada 2009 membantah Anies, pada Oktober 2022 akhirnya dicalonkan juga.

Itu artinya, dua hipotesis tadi batal. Bahwa yang sesungguhnya terjadi malah Jokowi dan PSI memang saling membutuhkan untuk ke 2029. Alasan ini harus dilihat dalam hal Post-Jokowi. Arti dari Post-Jokowi adalah ketika sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden sekaligus sebagai ketua kelas dari para partai -- partai yang bergabung di dalam pemerintahan. Sekalipun Prabowo selaku ketua umum Gerindra sudah meneriakkan "Hidup Jokowi!" kenyataannya adalah tanda tangan ketua umum dan sekretaris jenderal lebih konkret.

Ini artinya, sekalipun partai yang dulu begitu keras mendukung Jokowi khususnya yang di KIM Plus, akhirnya juga bahwa harus diakui Jokowi tidak lagi memegang kekuasaan formal melainkan kekuasaan simbolik saja yakni di cap sebagai "matahari" yang kembar. Tetapi, haruslah pemandangan ini panorama yang kita baca dan cermati dengan amat baik terutama kaitannya hubungan yang memang selalu dibenturkan antara Prabowo dan Gibran. Seolah -- olah, Prabowo bukan presiden yang berdaulat karena Gibran adalah perpanjangan tangan daripada Jokowi itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun